Wednesday, February 26, 2014

Profetisme, Spirit Teologis Muhammadiyah

KH Ahmad Dahlan: Pengagas Muhammadiyyah

Menarik untuk dikaji secara serius, mengapa organisasi Islam seperti Muhammadiyah yang lahir pada 1912, dapat bertahan hingga sekarang dan mengalami sukses besar? Bila Kristen Protestan memiliki Protestant Ethics sebagai spirit yang membangunnya, apakah Muhammadiyah memiliki spirit teologis yang serupa?

Tentu saja Muhammadiyah memiliki spirit yang serupa, meskipun sangat berbeda. Spirit teologis itu adalah profetisme. Profetisme secara literal berasal dari bahasa Inggris, yaitu prophet atau prophetic, yang bermakna nabi atau kenabian.

Heddy Sri-Ahimsa Putra dalam kertas kerjanya yang berjudul “Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah?” memberikan makna bahwa, “…profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan.”[1] Seperti nabi, profetisme berarti mengemban misi ilahiah yang termanifetasikan dalam seluruh aktivitas kemanusiaan yang luhur.

Kuntowijoyo
Secara teoritik, profetisme telah diteorisasikan oleh Kuntowijoyo.[2] Setelah melalui pelbagai uji akademik ilmiah, profetisme berubah menjadi Ilmu Sosial Profetik.[3] Ilmu Sosial Profetik ini tidak terlalu berbeda dengan ilmu sosial transformatif, yang mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial. Tujuannya adalah rekayasa untuk perubahan sosial. Karena itu, ruang lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif seperti teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal.[4]
Ilmu Sosial Profetik ini, menghendaki transformasi sosial yang berdasarkan pada cita-cita humanisasi, liberasi dan transendensi yang diderivasi dari misi historis kitab suci. Dalam hal ini, Kuntowijoyo merujuk pada al-Quran, surat Ali Imran ayat 110, yang artinya, “Engkau adalah umat terbaik, yang diturunkan di tengah umat manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.”
Menurut Kuntowijoyo, ada empat hal yang tersirat dalam ayat tersebut, yaitu tentang konsep umat terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik.[5] Pertama, umat manusia akan menjadi umat terbaik, tatkala mampu melaksanakan “pengabdian kemanusiaan” bagi umat manusia (civil society); Kedua, mengemban misi kemanusiaan, berarti berbuat untuk manusia dalam bentuk aktivisme sosial dan membentuk sejarah; Ketiga, kesadaran dimaksud adalah kesadaran ilahiah.[6] Dengan kata lain, suatu bentuk “keterpanggilan etis” untuk kemanusiaan yang dilandasi oleh spirit teologis; Keempat, etika profetik ini berlaku umum, yaitu menyeru kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah (transendensi).[7]

Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed

Khusus menyangkut penjelasan yang terakhir disebutkan, etika profetik memiliki tiga prinsip utama, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Pertama, humanisasi bermakna memanusiakan manusia.[8] Di hadapan situasi kontemporer, di mana kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi situasi industrial, dengan demikian merubah pula pola-pola kebudayaan yang ada. Kemanusiaan, kadangkala tergantikan atau bahkan tidak lebih penting dari kepentingan industrialisme.

Orientasi profit yang dijalankan melalui cara produksi (mode of production), membentuk pola pikir manusia yang konsumtif, bahkan membentuk masyarakat konsumsi (the consumption society). Dengan demikian, barang, mesin, uang dan kepentingan pasar merupakan prioritas dari pada kemanusiaan, yang hanya melayani dan dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagian orang saja, khususnya pemilik kapital. Berseberangan dengan hal ini, maka mereka yang jauh dari kepemilikan modal, menjadi miskin, termarginalkan dan tersisih dari komunitas industrial (teralienasi). Humanisasi, seperti yang dimaksud dalam Ilmu Sosial Profetik, merupakan paradigma, di mana kesadaran kemanusiaan untuk memanusiakan manusia, diupayakan untuk menjawab pelbagai problem masyarakat industrial tersebut.

Kedua, liberasi adalah upaya untuk menetralisir segala bentuk tindak laku yang dehumanistik atau anti-kemanusiaan.[9] Upaya ini menjadi sangat penting, karena dalam setiap struktur sosial, khususnya dalam konteks masyarakat industrial-kapitalistik, tidak hanya ada para pemilik modal dan pekerja, namun juga berlangsung sistem dominatif, hegemonik dan eksploitatif. Dengan kata lain, ada kelas yang menindas, ada pula yang tertindas. Liberasi sebagai prinsip etika profetik, berguna untuk membuat netral kondisi “penjajahan” tersebut. Liberasi, bermakna pembebasan atau pemerdekaan bagi kemanusiaan di hadapan sistem sosial yang tiranik.

Ketiga, transendensi adalah mengembalikan segala urusan kehidupan kepada Tuhan.[10] Prinsip ini sebenarnya merupakan upaya untuk mengoptimalkan spiritualitas manusia, sebagai hamba. Terlebih bahwa, transendensi diharapkan menjadi nilai kesadaran umat, yang bersifat komunal atau memasyarakat. Humanisasi dan liberasi, keduanya semata-mata diupayakan karena prinsip transendensi ini. Tuhan merupakan sumber kekuatan, Tuhan merupakan sumber keabadian dan Dzat yang Maha Obyektif. Segala upaya humanisasi dan liberasi, bukanlah pemikiran dan sikap manusia yang reaktif. Upaya pembelaan terhadap kemanusiaan, misalnya dihadapan dehumanisasi yang menindas, bukan bahwa kelas penindas digantikan posisinya oleh kelas tertindas sebagai penindas baru, namun lebih kepada upaya menetralisir dan menuju pada kondisi yang obyektif.

Dari uraian singkat teori profetisme tersebut di atas, paling tidak ada empat nilai dan tiga prinsip yang secara paradigmatik digunakan sebagai framework pada paper kali ini. Empat nilai tersebut adalah: (1) civil society, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, (4) etika profetik. Sedangkan prinsip-prinsip yang menopang ISP adalah humanisasi, liberasi dan transendensi. Perangkat teoritik inilah yang digunakan untuk membaca fenomena Muhammadiyah.
Profetisme Muhammadiyah

Titik temu antara teori ini dengan Muhammadiyah, adalah dengan mencari koherensinya dengan fenomena gerakan Muhammadiyah. Gerakan Muhammadiyah yang mengamalkan profetisme, akan dirumuskan dalam artikulasi teoretik.

Kuntowijoyo: Maklumat Sastra Profetik
Upaya akademik ini, dapat dimulai dari statemen penting bahwa Muhammadiyah lahir dari inspirasi, prinsip dan spirit profetisme. Gerak profetisme Muhammadiyah, memicu terjadinya perubahan sosial yang begitu besar. Kebesaran organisasi keagamaan ini, tentu saja bukan karena suatu ideologi agama yang konservatif. Namun, profetisme itulah yang membentuk jati dirinya.

Thesis statement profetisme Muhammadiyah, dapat diidentifikasi dan dibuktikan dari pola gerakan sosial keagamaan yang diterapkan Muhammadiyah. Ciri profetisme adalah, adanya kesinambungan antara ortodoksi dengan ortopraksi oleh Muhammadiyah.[11] Dengan profetisme, persyarikatan Muhammadiyah tidak bermaksud mengukuhkan diri menjadi mazhab yang tekstualis, atau semata-mata ortodoks terhadap teks keagamaan. Justru pilihan untuk menjadi kelompok yang sarat dengan teks kitab suci, merupakan hasil penghayatan yang sungguh terhadap konteks sosial yang ada. Kredo ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah, bermakna pembebasan (ortopraksi).

Hal ini tentu saja, berbeda dengan stigma bahwa “kembali ke al-Qur’an dan Sunnah” bermaksud untuk membatasi ruang gerak kehendak bebas manusia (free will). Dengan demikian, pandangan ini menepis pendapat yang menetapkan Muhammadiyah sebagai golongan “Islam murni”.[12]

Profetisme Muhammadiyah yang membebaskan ini, benar-benar memberikan nilai tambah, sekaligus membedakannya dengan organisasi keagamaan lain. Misalnya saja Sarekat Islam (disingkat SI) (1912), sebagai manifestasi gerakan kaum beragama, SI telah tumbang tergilas zaman dengan pelbagai sebab.[13]
Nasib ini tidak berlaku pada Muhammadiyah. Justru hingga satu abad lebih, Muhammadiyah masih menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi keagamaan yang telah mapan. Inilah bukti yang sulit dibantah dari thesis statement profetisme Muhammadiyah. Dari pada memperjuangkan Islam melalui jalur politik seperti SI, Muhammadiyah lebih menaruh perhatian pada strategi kebudayaan dan pendidikan.
Muhammadiyah dalam Perspektif Praksis Sosial Kemanusiaan

KH. Ahmad Dahlan
Banyak orang hanya mengingat ajaran KH. Ahmad Dahlan sebagai purifikasi atau pemurnian ajaran keagamaan. Tidak banyak yang menaruh perhatian pada kontribusi sosial atas berdirinya Muhammadiyah, sekitar tahun 1912-1914. Padahal, dalam banyak kesempatan, Muhammadiyah telah memberikan teladan untuk bersikap wajar terhadap agama, simbol agama, tradisi, bahkan kepercayaan setempat yang berbau mistis.

Pendirian Muhammadiyah pun terinspirasi dari organisasi Budi Utomo. Modernitas organisasi nasionalis ini menjadi contoh yang baik demi kemajuan Islam. Kendati mayoritas anggota anggota Budi Utomo adalah Abangan yang tidak terlalu taat, bahkan acuh terhadap agama, namun ada sisi positif yang diapresiasi dengan baik oleh pendiri Muhammadiyah. Bagi seorang pejuang Islam, mengikuti modernitas Budi Utomo, bukan berarti harus mengikuti pemikiran dan praktik beragama para anggotanya. Dari sinilah, pada akhirnya pada 20 Desember 1912, Muhammadiyah mengajukan diri sebagai organisasi resmi yang diakui oleh Belanda.[14] Pendirian persyarikatan memang diniatkan untuk ibadah dan demi kemaslahatan umat. Hal ini adalah urusan dunia dan sama sekali bukan urusan ibadah, terlebih ibadah mahdhah(khusus).

Budi Utomo
Di lain kesempatan, pendirian sekolah Muhammadiyah sangat terinspirasi oleh berdirinya sekolah Belanda, yang memiliki agama resmi Kristen. H.I.S. met de Koran jelas meniru H.I.S. met de Bibel.[15] Bukan hanya itu, kegiatan-kegiatan sosial oleh umat Kristiani seperti pelayanan kesehatan dan poliklinik, juga menjadi inspirasi. Hal ini bukan dimaksudkan untuk Kristenisasi dalam tubuh persyarikatan. Sikap sekular yang proporsional, menjadikan Muhammadiyah lebih peka secara sosial, tanpa harus mengadopsi praktik keagamaan an sich.

Di tengah ikhtiar untuk kebangkitan umat Islam, Dahlan tidak jarang mendapat hujatan dari banyak pihak. Termasuk di antaranya, secara sepihak ia dianggap kafir oleh para agamawan saat itu. Bagi mereka, bukanlah hal yang patut bagi kaum Muslimin, untuk mengikuti Belanda atau agama lain. Sembari bersenjata legitimasi hadits nabi, “Barangsiapa mengikuti suatu kaum, maka ia bagian dari kaum itu,” golongan agamawan menisbatkan sandangan “kafir” bagi pendiri Muhammadiyah tersebut. Kendatipun, sebenarnya mereka secara tidak adil menerapkan standar agama untuk mengklaim kebenaran tertentu. Karena sementara di lain kesempatan, mereka melestarikan agama yang feodal. Dengan kata lain, sangat menjunjung agama dan kultur yang mengekang. Otoritas keagamaan dan rahmat Tuhan, hanya berlaku bagi para bangsawan, agamawan dan keturunannya. Itulah orang-orang titisan ilahi. Agama dalam konteks ini, tidak egaliter dan hanya memihak kelas sosial yang lebih tinggi dari padanya.

Persoalannya bahwa, Islam menurut pemegang jabatan Kyai Penghulu ini merupakan agama yang egaliter, menjunjung kemanusiaan dan membebaskan umat dari pelbagai mistis. Sejarawan Kuntowijoyo membenarkan hal ini. Menurutnya, menjelang berdirinya Kweekschool, Dahlan terlibat secara intensif atas misi kemanusiaan tersebut. Ia ber-tabligh dengan mengunjungi murid-muridnya. Menurut sudut pandang masyarakat, guru mencari murid adalah aib sosial budaya. Sebagai Khatib Mesjid Besar dan Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah, tidak sepantasnya berlaku demikian. Ada dua implikasi atas sikap Dahlan, yaitu: Pertama, ia membongkar idolatry atau pemujaan tokoh ulama. Kedua, ia membumikan ajaran agama yang nampak melangit, hingga menjadi kamanungsan.[16] Inilah yang disebut dengan demistifikasi agama. Dengan kata lain, ada semacam upaya sekularisasi terhadap paham keagamaan di kala itu.

Teranglah bahwa, kembali kepada kitab suci bukan bermaksud untuk menyerahkan semuanya kepada teks keagamaan (scripturalism). Upaya kembali, merupakan usaha pragmatis, untuk kemajuan umat yang telah lama terpenjara. Masyarakat Islam secara sosial telah menanggung derita kolonialisme dan imperialisme. Sementara di sisi lain, feodalisme dan sistem sosio-religious menggenapi kekangan yang ada. Orang-orang miskin, harus tunduk pada pemuka agama dan para bangsawan, tanpa bisa secara manusiawi untuk memanfaatkan rasionalitas mereka.

Gerakan Muhammadiyah, Gerakan Sosial Profetik
Ciri pembebasan, sekularisasi dan demistifikasi, adalah ciri utama dari profetisme. Dahlan secara total, mengabdi untuk misi kenabian ini. Seperti halnya rasul, banyak tantangan yang dihadapi. Tidak jarang pula mengancam jiwanya, karena mendobrak tradisi dan kekuasaan politik.

Gerakan Muhammadiyyah
Rasul sangat dibenci oleh kaum kafir Quraisy, bukan sekedar karena membawa agama baru. Liberasi dengan cara menggulirkan politik zakat,[17] adalah alasan utamanya. Jika sebelumnya orang miskin membayar pajak pada orang-orang kaya, bangsawan dan pemimpin keagamaan, – yang mana hal ini di dukung oleh kondisi sosio-kultural dan religius – maka kehadiran rasul merupakan pembongkaran terhadap tradisi dan menerapkan tradisi baru yang lebih humanis. Hal yang sama dilakukan oleh Dahlan. Tatkala umat sebagai pribumi yang miskin tidak boleh bersekolah dan paham keagamaan hanya didominasi oleh para ahli dan bangsawan, maka ia mempertaruhkan hidupnya untuk kebebasan pendidikan.

Profetisme termasifestasikan menjadi lembaga sosio-religius yang berupa sekolah, poliklinik (saat itu PKO atau Penolong Kesengsaraan Oemat) dan panti asuhan. Dewasa ini, menurut Pusat Data Muhammadiyah, secara mengejutkan Muhammadiyah mencatatkan angka 10314 lembaga pendidikan. Kuantitas spektakuler itu, secara rinci terdiri dari TK/TPQ (4623); SD/MI (2604); SMP/MTs (1772); SMA/SMK/MA (1143); PT (172).[18] Atas kemajuan yang diraih, tidak heran bila dunia internasional, mengakui Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan terbesar yang memiliki lembaga pendidikan terbanyak di dunia.[19]

Perkembangan Muhammadiyah di bidang pendidikan ini, secara fundamental memiliki peran strategis bagi masyarakat. Sebagai organisasi dakwah, secara leluasa dapat melakukan desaminasi profetisme Islam. Dakwah ini bukan hanya dalam bidang peribadatan, namun juga bertanggungjawab atas masa depan umat secara sosial. Secara teologis, Muhammadiyah menghendaki berfungsinya agama secara pragmatis, untuk kemaslahatan umatnya, baik di dunia maupun di akhirat.[20]

Hal yang sama disuarakan oleh Syamsul Arifin bahwa, peran penting pendidikan Muhammadiyah, membawa kepada dua hal. Pertama, atas ajaran kenabian yang dimiliki, Muhammadiyah berkesempatan untuk membentuk paradigma berpikir umat. Kedua, Muhammadiyah memberikan kontribusi yang besar bagi mobilitas sosial.[21]

Di usia yang genap satu abad, jangkauan ikhtiar sosial Muhammadiyah semakin besar dan luas. Universitas Muhammadiyah Malang misalnya, pada 2012 dengan percaya diri mengumandangkan motto, “Dari Muhammadiyah untuk Bangsa.” Jika diamati dengan baik, maka kiprah pendidikan Muhammadiyah, turut memberikan makna yang mendalam pada ruang kehidupan kebangsaan.

Inilah yang membuat organisasi keagamaan ini bertahan cukup lama. Paling tidak, dapat disandarkan pada tiga sebab utama, yaitu: pertama adalah Muhammadiyah tetap bertahan karena secara teologis, mengakomodir paradigma kenabian (profetisme) dalam jejak langkahnya; kedua, prinsip etis ber-Islam dan berorganisasi adalah semata-mata menaruh kepedulian pada persoalan kemanusiaan dan transformasi sosial; sedangkan yang ketiga, strategi gerakan Muhammadiyah adalah gerakan kebudayaan, baik itu dikenal sebagai gerakan dakwah dan gerakan pendidikan. []

________________________________________
[1] Heddy Sri-Ahimsa Putra, Paradigma Profetik: Mungkinkah? Perlukah? (Makalah Sarasehan Profetik 2011, Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011)

No comments:

Post a Comment