Friday, February 28, 2014

Bolehkah Puasa Sunah 3 Hari Tiap Bulan dikerjakan Tanggal 14,15,16 ?


Pertanyaan Dari:
Saudara Kusdiyanto, IKIP PGRI Wates, Yogyakarta

Tanya:
Ada beberapa hal yang saya tanyakan kepada pengasuh rubrik Fatwa Agama SM:
1.      Bolehkah puasa sunnat tiga hari setiap bulan dikerjakan tidak pada tanggal 13, 14 dan 15, tetapi dilaksanakan pada tanggal 14 s.d. tanggal 16 atau tanggal 15 s.d. tanggal 17 misalnya?
2.      Dari maksimal delapan rakaat salat Dhuha, bolehkah dikerjakan secara tidak berurutan, misal pagi jam 08.00 dikerjakan dua atau empat rakaat, karena terburu-buru akan pergi. Kemudian pada jam 10.00 dikerjakan 4 rakaat lagi.
3.      Karena banyaknya hewan di dalam masjid, cecak misalnya, kotorannya sering sulit dihindari. Sewaktu masuk masjid sudah saya periksa bahwa telapak kaki saya bersih, tetapi setelah selesai salat tampak bercak putih pada telapak kaki yang ternyata itu kotoran cecak. Apakah kotoran itu najis atau tidak dan apakah salat yang saya lakukan itu sah atau tidak?
4.      Pada waktu salat Dzuhur telah mendapat tiga rakaat, tiba-­tiba saya buang angin. Apakah saya harus mengerjakan salat Dzuhur sejak dari rakaat pertama lagi atau cukup hanya menambah satu rakaat saja setelah wudhu?
5.      Apakah berbeda atau tidak salat sunnat sesudah azan dengan salat sunnat rawatib qabliyah?

Jawab:
1.      Puasa tiga hari setiap bulan itu dasarnya ialah hadis riwayat an-Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu Hiban:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصُومَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ الْبِيضَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ. وَقَالَ هِيَ كَصَوْمِ الدَّهْرِ [رواه النسائى وصححه ابن حبان]
Artinya: “Nabi memerintahkan kami untuk berpuasa tiga hari setiap bulan, yakni hari-hari cemerlang tanggal tiga belas, empat belas dan lima belas, dan sabdanya: Itu seperti puasa sepanjang masa.”
Karena dalam hadis sudah ditentukan tanggalnya, maka tidak bisa diganti pada tanggal lain. Hal ini dikarenakan puasa itu termasuk ibadah mahdah dimana waktu pelaksanaannya tidak mengalami perubahan, sehingga waktu dan tanggal pelaksanaannya harus mengikuti tuntunan. Apabila diganti pada tanggal lain tidak termasuk puasa al-baid (hari cemerlang).
2.      Ada beberapa hadis yang menerangkan jumlah rakaat salat Dhuha, ada yang menyebutkan dua rakaat, empat rakaat, delapan rakaat dan ada juga hadis yang menyebutkan dua belas rakaat. Hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
  1. Hadis yang menyebutkan salat Dhuha itu dua rakaat:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ [متفق عليه]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi saw berwasiat kepadaku untuk puasa tiga hari setiap bulan, salat Dhuha dua rakaat dan salat Witir sebelum tidur.” [Hadis riwayat Muttafaq ‘Alaih]
  1. Hadis yang menyebutkan bahwa salat Dhuha itu empat rakaat:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ [رواه أحمد ومسلم وابن ماجه]
Artinya: “Nabi pernah salat Dhuha empat rakaat dan pernah lebih sesuai kehendak Allah.” [HR. Ahmad, Muslim dan lbnu Majah]
  1. Hadis yang menyebutkan bahwa salat Dhuha itu delapan rakaat:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى سُبْحَةَ الضُّحَى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ [رواه أبو داود بإسناد صحيح]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw mengerjakan salat Dhuha delapan rakaat dan salam setiap dua rakaat.” [HR. Abu Daud dengan sanad sahih]
  1. Hadis yang menerangkan bahwa salat Dhuha itu dua belas rakaat:
عَنْ أَنَسٍ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى الضُّحَى اِثْنَي عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ قَصْرًا فِي الْجَنَّةِ [رواه الترمذي]
Artinya: “Dari Anas, ia berkata: Nabi saw bersabda: Barangsi­apa mengerjakan salat Dhuha dua belas rakaat, Allah membangun sebuah istana baginya di surga.” [HR. at-Turmuzi]
Dari hadis-hadis di atas dapat diketahui bahwa salat Dhuha itu dikerjakan maksimal 12 rakaat dan ini bukan merupakan satu paket yang harus dikerjakan. Artinya boleh memilih jumlah rakaat sesuai dengan waktu/kesempatan yang ada. Artinya apabila mampu/sempatnya hanya dua atau empat rakaat, sudah dinilai cukup, demikian seterusnya.
3.      Semua kotoran baik itu kotoran manusia atau hewan termasuk najis. Oleh karenanya ketika akan salat, badan, pakaian maupun tempat, tidak boleh kena najis. Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, al-Hakim dan lbnu Hiban dari Abu Hurairah menerangkan bahwa Nabi saw sedang mengerjakan salat kemudian melepas (membuka) terompahnya, maka orang-orang juga sama melepas terompah mereka. Setelah selesai salat Nabi saw bertanya, mengapa kalian membuka terompah? Mereka menjawab, karena kami melihat Nabi membukanya, lalu Nabi bersabda:
إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِى فَأَخْبَرَنِى أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ فَلْيَنْظُرْ فِيهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا فَلْيَمْسَحْهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ لَيُصَلِّ فِيهِمَا [رواه أحمد وأبو داود والحاكم]
Artinya: “Sesungguhnya Jibril datang memberi tahu kepadaku bahwa di terompahku ada kotoran, maka bila di antara kalian datang ke masjid, baliklah terompahnya dan supaya dilihat, kalau ada kotorannya supaya disapukannya ke tanah, lalu salat dengan memakai terompah itu.”
Dari hadis di atas diperoleh petunjuk:
a.       Pakaian yang kena najis tidak boleh dipakai untuk salat.
b.      Apabila sedang melakukan salat terkena najis dan dike­tahuinya najis tersebut harus dihilangkan, kemudian melanjutkan salat dengan tidak perlu mengulang dari awal. Tetapi bila yang bersangkutan tidak mengetahuinya maka salat jalan terus dan sah serta tidak perlu mengulanginya.
4.      Buang angin atau kentut itu termasuk membatalkan wudu. Apabila salat belum selesai dan wudunya batal, maka salatnya juga batal dan tidak sah, setelah wudu ia harus mengulangi salatnya dari awal.
5.      Salat sunnat rawatib adalah salat sunnat untuk mengiringi/menyertai salat fardu Bila dikerjakan sebelum salat fardu, disebut qabliyah dan bila dikerjakan setelah salat fardu disebut ba’diyah. Apabila sebelum salat fardu ada azan, maka sunnah qabliyah dikerjakan sesudah azan dan bila tanpa azan, salat sunnat qabliyah dikerjakan sebelum salat fardu, baik di rumah atau di masjid. Khusus pada salat Jum’ah tidak ada qabliyah Jum’at. Disamping itu ada salat sunnah yang lain, bukan rawatib qabliyah, tetapi dikerjakan sesudah azan. Bagi orang yang masuk masjid sesudab azan selesai, ia dapat melakukan salat tahiyyah mesjid dan salat qabliyah, tergantung dari kesempatan atau waktu yang tersedia.

  Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Prof.Din Syamsuddin Membuka MUNAS Tarjih ke-28

Palembang- Musyawarah Nasional (MUNAS) Tarjih Muhammadiyah ke-28 hari Jum'at (28/2) resmi dibuka oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof.Dr.Din Syamsuddin,MA. Munas tahun ini bertemakan "Fikih Berkemajuan Untuk Pencerahan Peradaban". Acara dilaksanakan selama 4 hari, mulai 27 Februari – 2 Maret 2014.

Menurut Din Syamsuddin, pembahasan mengenai Fikih tidak hanya mengenai halal haram, tetapi lebih ke arah pemikiran yang nantinya dapat menjadi sumbangan bagi bangsa dan Negara. “ Dari munas ke munas para ulama tarjih telah memberikan pemikiran-pemikiran positifnya, dan hal tersebut sangat berguna bagi kehidupan umat Islam,” jelasnya saat ditemui wartawan seusai pemukaan Munas Tarjih.  Dalam Munas Tarjih Muhammadiyah ke 28 kali ini, membahas beberapa topik yang diantaranya adalah fikih air, tuntunan keluarga sakinah, ibadah di bulan Ramadhan, dan beberapa topic yang didiskusikan dalam bentuk seminar seperti Fikih Ulil Amri, serta peradaban utama dalam dialektika modernitas dan tradisi.

Menurut ketua panitia pelaksana dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mohammad Mas’udi, jumlah peserta yang hadir telah mencapai lebih dari 200 orang yang berasal dari perwakilan wilayah, kalangan ulama, dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah. “Sampai saat ini ada dua ratusan peserta yang hadir dari berbagai perwakilan termasuk dari dua puluh delapan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah di Indonesia,” jelasnya.[sp/muh]

Selamat dan Sukses MUNAS Tarjih Muhammadiyah ke-28


Selamat dan Sukses
Musyawarah Nasional Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. 
Palembang 27 Februari - 1 Maret 2014

Munas Tarjih akan diikuti oleh 250-an peserta yang terdiri dari berbagai unsur, yaitu perwakilan Ormas Islam, utusan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dari seluruh propinsi di Indonesia, Perguruan Tinggi Muhammadiyah, Organisasi Otonom Muhammadiyah dan Pondok Pesantren Muhammadiyah.

Tema dari Munas Tarjih Muhammadiyah ke-28 ini adalah
“Fikih yang Berkemajuan untuk Pencerahan Peradaban”.

Terbit Buku "Pengelolaan Administrasi dan Keuangan Cabang-Ranting Muhammadiyah"


Buku ini disusun untuk membantu para pengurus persyarikatan Muhammadiyah yang ada di Cabang dan Ranting di seluruh pelosok nusantara dalam menggerakkan administrasi persyarikatan sehingga organisasi ini yang benar-benar dikatakan modern. Isi buku ini menjelaskan secara ringkasmengenai pengelolaan administrasi dan keuangan dalam enam bab.

Bab pertama menjelaskan tentang pentingnya administrasi di Muhammadiyah sebagai organisasi modern. Bab kedua menguraikan tentang pentingnya tertib organisasi dan keuangan agar mekanisme control organisasi dapat berjalan dengan baik. Bab ketiga menjelaskan tentang administrasi umum di Muhammadiyah. Bab empat dan lima menjelaskan tentang pencatatan keuangan dan asset serta cara mengelola keuangan secara efektif. Bab akhir, yaitu bab tujuh, memfokuskan pada penyusunan laporan administrasi dan keuangan.

Buku ini bisa dipesan di kantor LPCR Pimpinan Pusat Muhammadiyah (d/a Jl. K.H. Ahmad Dahlan no 103 Yogyakarta 55262, Telp. 0274-375025; CP. Aji Gunawan (HP 085729638181)
 
Penerbit :  LPCR PP Muhammadiyah
Cetakan pertama: Maret 2014
Harga: Rp 13.000,-


Thursday, February 27, 2014

Polwan Muslimah Wajib Berjilbab

Dalam bentuk telegram pada 28 November 2013, Polri telah mengeluarkan keputusan tentang penundaan aturan penggunaan jilbab bagi polisi wanita (Polwan). Di awal Desember 2013, Kapolri pun pernah menyatakan janjinya, dalam waktu dekat pihaknya akan segera menyusun aturan yang mengatur penggunaan jilbab bagi Polwan (Kompas, 2 Desember 2013).
Bentuk penundaan dan janji Polri yang tak kunjung dipenuhi hingga detik ini telah mengundang sejumlah pertanyaan.  Di antaranya, apakah dengan penundaan ini Polri tidak merasa, bahwa pihaknya  sudah melanggar Pancasila dan UUD 45. Bahkan telah menodai kesucian perintah agama. Jika alasannya adalah terkait keseragaman dan anggaran, apakah masuk akal.
 Sementara warga, khususnya polwan yang berkeinginan untuk memakai jilbab pada saat dinas sudah menunggu berlarut-larut. Jika dihitung dari mengemukanya peraturan larangan berjilbab bagi Polwan per Juni 2013, berarti masalah ini sudah menggantung selama kurang lebih sembilan bulan. 
Bagi sebagian besar masyarakat di kita, kain kerudung atau hijab yang menutupi rambut kepala dan dada wanita disebut jilbab. Padahal sebetulnya, yang dimaksud dengan jilbab adalah sejenis pakaian yang longgar seperti baju kurung yang dipakai wanita untuk menutupi tubuhnya. Istilah di kita, jilbab itu tepatnya baju gamis.

Sedangkan bahasa fikih yang dimaksud kain kerudung itu sendiri adalah disebut khimar, jamaknya khumur, yaitu kain kerudung yang menutupi bagian rambut kepala wanita hingga ke dada. Dan aturan Polri yang dipersoalkan itu maksudnya tidak lain adalah penggunaan kain kerudung atau hijab bagi Polwan. Bukan jilbab.  Karena pemakaian kata jilbab untuk pengertian yang dimaksudkan lebih dominan dan meluas, khususnya di media, maka di sini penulis pun akhirnya ikut-ikutan menggunakan istilah jilbab, sebagaiman isunya yang belum tuntas hingga saat ini.

Hingga detik ini, nasib sejumlah Polwan, khususnya Polwan Muslimah yang mau mengenakan jilbab berada dalam ketidakpastian. Mereka telah menggadaikan kesucian dan harga dirinya dengan melepaskan jilbab secara terpaksa. Sangat disesalkan, mereka tidak dibenarkan untuk menggunakan jilbab sehingga aturan  penggunaan jilbab diberlakukan.
Sederet fakta menyebutkan, di saat apel pagi atau ketika dinas, di kebanyakan titik kawasan tidak terlihat polwan yang berjilbab, seperti di Polda Jawa Timur, Polsek Pamulang, Pasar Minggu, Kebayoran Lama, Jagakarsa, Polres Jakarta Utara dan juga Mapolda Metro Jaya. (Republik, Selasa, 11 Februari 2014, hal. 1).
Padahal sebelumnya, berbagai elemen masyarakat seperti kalangan ulama, ormas Islam, LSM dan sejumlah wakil rakyat telah memberikan peringatan dan kritikan kepada Polri supaya peraturan larangan penggunaan jilbab bagi Polwan tersebut segera direvisi karena dianggap bertentangan dengan spirit UUD 45 dan Pancasila. Namun kritikan dan kecaman itu seolah-olah tidak ditanggapi  secara serius oleh pemerintah dan Polri. Terbukti, hingga saat ini masalah ini belum final dan terkatung-katung. 
Sebetulnya, instansi pemerintah seperti Polri tidak sewajarnya mengeluarkan peraturan tentang larangan berjilbab bagi Polwan di instansinya. Apalagi di berbagai instansi pemerintah dan swasta, penggunaan jilbab sudah diijinkan. Tanpa kendala apa pun. 
 Sejatinya, justeru Kapolri harus menganjurkan penggunaan jilbab bagi Polwan. Jika masalahnya keseragaman, Polri punya wewenang untuk mewajibkan penggunaan jilbab bagi seluruh Polwan, terutama Polwan Muslimah. Saya kira, sikap seperti ini lebih mulia dan terpuji. Sebab pengunaan jilbab bukanlah sekadar mode, tapi fitrah dan karakteristik wanita Muslimah yang wajib dijaga dan dihormati. 
Di luar negeri, kecuali beberapa Negara seperti Perancis, memakai jilbab sudah tidak dipersoalkan. Di Inggris misalnya, penggunaan jilbab sudah lama dibolehkan, baik di militer maupun di kepolisian. Mereka berjilbab tanpa ada hambatan dan halangan. Prinsip kerajaan Inggris adalah multikulturalisme, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengijinkan polisi wanita Muslimah mengenakan jilbab.
 Di Amerika, belum lama mengeluarkan aturan secara resmi yang membolehkan Muslimah di angkatan bersenjata dan kepolisian untuk menggunakan jilbab. Walaupun, secara praktiknya, jilbab di Negara Paman Syam itu sudah lama berlaku. (Republik, Selasa, 11 Februari 2014, hal. 28).
Bahkan di Malaysia, polisi wanita Muslimah diwajibkan mengenakan jilbab. Dan ini sudah berlangsung cukup lama. Padahal kemajemukan di negeri Jiran ini tidak jauh beda dengan Indonesia yang berlatar belakang ragam suku, etnis, dan agama. Akan tetapi, dalam masalah aturan berjilbab, Kerajaan Malaysia justeru lebih maju daripada Indonesia. Mereka menggalakan dan mewajibkan perempuan Muslimah untuk berjilbab, termasuk bagi polisi wanita di jajaran kepolisian.
Oleh sebab itu, tidak aneh jika sensasi Polri dengan aturan larangan menggunakan jilbab menuai kecaman dan kritikan dari berbagai kekuatan masyarakat. Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin waktu itu berpendapat, Polri out of date(ketinggalan zaman) jika bersikukuh mempertahankan aturan larangan memakai jilbab bagi anggota kepolisian wanita. Sedangkan Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI), KH. Satori Ismail mengkritiknya dengan tegas, bahwa larangan Polri tersebut merupakan sikap yang sudah berani melanggar hukum Allah.
Hal senada datang dari Ketua Umum Dakwah Islam Indonesia (DDII), Syuhada Bahri. Ia meminta Polri tidak melarang kebebasan menjalankan keyakinan agama seperti yang telah dijamin oleh UUD 45. Menurutnya, karakter Polwan berjilbab selaras dengan kondisi Indonesia yang mayoritas Islam.
Kritikan menarik juga disampaikan oleh delegasi dari Wadah Silaturahim Muslimah Wanita TNI-Polwan. Ia mengutarakan pandangannya, bahwa berjilbab menunjukkan nilai religiusitas yang tinggi yang patut dihormati. “Karena jati diri dan profesionalitas merupakan harga diri suatu bangsa. Keduanya akan lebih mulia jika disertai dengan nilai ketaqwaan. Al-Quran, Pancasila dan UUD 45 serta nilai yang terkandung dalam Sapta Marga dan Tribrata wajib dihormati. Sejarah telah membuktikan, dengan religiusitas yang tinggi, TNI dan Polri mampu menjaga pertahanan dan keamanan Negara.”  
Sedangkan Komisioner Komnas Ham, Maneger Nasution menyatakan, masyarakat dimungkinkan mengajukan gugatan class action terhadap Polri yang tidak mengijinkan anggota polwan mengenakan jilbab. Apalagi Komnas Ham juga pernah mendapat pengaduan dari seorang Polwan yang mengaku diintimidasi dan didiskriminasikan oleh atasannya. Jelas, bentuk intimidasi dan diskriminasi oleh pihak kepolisian kepada anggota Polwan yang tetap menggunakan jilbab merupakan pelanggaran pidana.
Di sinilah para petinggi dan jajaran di kepolisian sedang diuji dan harus diingatkan. Di antara solusi untuk menghadapi kasus seperti ini, para elit di Polri dan pemerintah dituntut untuk cepat tanggap (responsif) dan tidak menunda-menunda lagi. Di samping itu, Polri sudah seeloknya membaca dan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi zaman, baik secara nasional maupun internasional. Sehingga aturan atau kebijakan yang dikeluarkan didasarkan pada aspirasi masyarakat yang sejalan dengan karakteristik bangsa dan nilai-nilai luhur agama, Pancasila dan UUD 45.
Saya berharap agar Polri bekerja secara jujur dan profesional sesuai dengan mottonya,  sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Segala bentuk perubahan atau reformasi di tubuh Polri yang membawa kepada kemaslahatan, baik bagi Polri, Negara dan masyarakat secara keseluruhan berhak menuai dukungan. Oleh sebab itu, Polri harus segera menjawab dan menyelesaikan masalah aturan jilbab ini dengan baik dan bijaksana.  Jika Polri keberatan untuk mewajibkan jilbab bagi Polwan Muslimah, maka tidak ada masalah. Yang penting, aturan yang membolehkan penggunaan jilbab bagi anggota Polwan ketika dinas segera diberlakukan. Tanpa penundaan dan janji palsu. 


Imron Baehaqi, Lc., MA
Ketua Bidang Dakwah PCIM Malaysia
Alumni Mahasiwa Pasca Sarjana di Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, Kuala Lumpur

MUI Dituduh Tempo Terima Hadiah Rp 820 Miliar

Dalam rubrik OPINI, Tempo edisi 24 Februari-2 Maret 2014 menulis “Demi mengantongi izin, perusahaan sertifikasi di Australia, menurut laporan The Sunday Mail, Brisbane, Oktober lalu, memberi “hadiah” kepada MUI yang nilainya mencapai Aus$ 78 juta atau sekitar 820 miliar. Padahal resminya tak boleh ada ongkos seperak pun dipungut dari perusahaan pemberi sertifikat.”
Ini adalah tuduhan yang serius dari majalahTempo kepada lembaga yang menjadi wadah para ulama, zuama dan cendekiawan, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lalu bagaimana tanggapan MUI atas tuduhan ini?.
“Berita tersebut sangat menyesatkan karena dana sebesar itu sepeser pun tidak pernah masuk ke MUI atau petinggi MUI,” kata Ketua MUI Bidang Ekonomi dan Produk Halal Amidhan Saberah, petinggi MUI yang namanya paling disorot dalam laporan Tempo edisi ini.
Dalam konferensi pers di Gedung MUI Pusat, Jakarta, Rabu (26/2/2014), Amidhan menjelaskan, dana sebesar Rp820 miliar itu berasal dari sekitar 30-an Rumah Potong Hewan (RPH) di Australia yang dibayarkan kepada Lembaga Sertifikasi Halal Australia yang diakui standardnya oleh MUI. Bukan kepada MUI sendiri.
MUI sendiri, kata Amidhan, dalam mengeluarkan sertifikasi halal atau meng-approval suatu badan sertifikasi di luar negeri tidak pernah menerima hadiah.
“MUI meminta majalah Tempo untuk membuktikan bahwa MUI telah menerima senilai AUS 78 juta atau sekitar Rp820 miliar tersebut,” tandasnya.[sp/suara-islam/tabligh.or.id]

Lembaga Halal Eropa Bantah Pemberitaan Bohong Tempo

Pemberitaan Majalah Tempo soal sertifikat produk halal mendapat respon dari Eropa. Berita yang condong menyudutkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu dianggap tidak benar.
Halal Food Council of Europe (HFCE) dalam surat resminya tertanggal 24 Februari 2014, mengatakan laporan Majalah Tempo tidak benar sama sekali. HFCE ini bermarkas di Brussel Belgia. Surat ditujukan kepada Ketum MUI.
Diberitakan Waspada, Rabu (26/2/2014), pada poin pertama HFCE menjelaskan siapa Mr Zeshan Sadek. Dalam berita Tempo dikatakan Zeshan sebagai Ketua HFCE. Hal itu tidak benar, dia hanya Direktur HFCE.
HFCE juga membantah pemberitaan Majalah Tempo bahwa Ketua MUI Amidhan di dalam Advisory Board HFCE. Pihak HFCE mengakui kalau Amidhan sering memberi nasihat soal produk halal.
Majalah Tempo yang menyebutkan Amidhan dapat bayaran dari Eropa juga dibantah HFCE ini. Amidhan memang memberi masukan, kata HFCE dalam surat itu, tapi tanpa bayaran atau sukarela.
HFCE menganggap laporan Majalah Tempo itu sengaja untuk menjatuhkan martabat Amidhan sebagai ketua MUI dan HFCE sendiri.
Surat Halal Food Council of Europe (HFCE)
Yang Terhormat KH Sahal Mahfudz,
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Bagi pihak HFCE saya ingin menarik perhatian Yth mengenai laporan Tempo mengenai HFCE.
Pertama nya laporan mengenai Mr Zeshan Sadek sebagai Ketua HFCE adalah tidak benar sekali. Beliau hanya memegang jawatan sebagai DIRECTOR HFCE. Sila dimaklumkan bahwa Prof. Dr. Hj. Mohamed Sadek masih lagi memegang jawatan sebagai CHAIRMAN and jawatan ini beliau memegang sejak permulaan HFCE pada tahun 2010 sampai saat ini.
Kedua, mengenai peranan Bapak Dr Amidhan di dalam Advisory Board HFCE. Laporan ini adalah tidak benar sekali walaupun nasihat Dr Amidhan terhadap soalan soalan halal banyak diberikan dan jasa baik Bapak Dr Amidhan sangat dihargai oleh HFCE.
Akhirnya tuduhan mengenai bayaran terhadap Bapak Dr Amidhan amatlah mengejutkan. Kenyataan ini tidak ada asas dan segala nasihat dan bimbingan dari Bapak Dr Amidhan untuk HFCE adalah atas dasar voluntari.
HFCE harap Yth dapat memberi perhatian terhadap laporan TEMPO terhadap HFCE adalah berdasarkan kepada faktur untuk menjatuhkan nama baik HFCE dan juga Bapak Dr Amidhan dari setengah pihak yang tidak bertanggung jawab.
Wassalam,
Rohana Mohamad
Administrative Officer
Sumber: hidayatullah-kiblatnet-tabligh.or.id

Wednesday, February 26, 2014

Adakah Dalil Melaksakan Shalat Iftitah Secara Berjama'ah ?

Pertanyaan Dari:
Bapak Rusydi, Takmir Masjid al-Azhar,
Muhammadiyah Cabang Lamongan Jawa Timur
(disidangkan pada hari Jum’at, 15 Rabiulawal 1432 H / 18 Februari 2011 M)


Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum  Wr. Wb.
Dengan inikami sampaikan bahwa di masjid al-Azhar Muhammadiyah Cabang Lamongan sebelum Ramadan 1428 pelaksanaan shalat iftitah dilaksanakan dengan sir dan sendiri-sendiri. Kemudian dalam rapat Takmir Masjid ada pertanyaan apakah shalat iftitah dilakukan dengan berjamaah atau sendiri-sendiri. Setelah mendengarkan penjelasan dalam pengajian yang disampaikan oleh tokoh Muhammadiyah dan beliau mengutip penjelasan tentang kaifiyat shalat iftitah yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama, adanya perubahan dalam cara pelaksanaan salat iftitah yaitu shalat iftitah dilaksanakan dengan berjamaah. Apakah benar shalat iftitah itu dilaksanakan dengan berjamaah?
  
Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan bapak. Untuk menjawab pertanyaan yang bapak sampaikan, perlu kami kemukakan beberapa hadis sebagai berikut:
1.      Hadis riwayat Ibnu Abbas:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ سُلَيْمَانَ أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ قَالَ بِتُّ عِنْدَهُ لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَنَامَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شَنٍّ فِيهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ وَتَوَضَّأْتُ مَعَهُ ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمَسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوقِظُنِي فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ فَأَتَاهُ بِلَالٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى لِلنَّاسِ (رواه أبو داود:الصلاة: فى صلاة الليل:1157)

Artinya:Abdul Malik bin Syu’aib bin al-Lais telah menceritakan kepada kami, ayahku telah menceritakan kepadaku, diriwayatkan dari kakekku, diriwayatkan dari Khalid bin Yazid, diriwayatkan dari Sa’id bin Abi, diriwayatkan dari Makhramah bin Sulaiman sungguh Kuraib hamba ibnu Abbas ia menceritakan bahwa dirinya berkata: Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, bagaimana shalat Rasulullah saw pada malam hari dimana saya bermalan di tempatnya sedang beliau (Rasulullah) berada di tempat Maimunah,maka beliau pun tidur, apabila waktu telah memasuki sepertiga malam atau setengahnya beliau bangun dan menuju ke griba (wadah air dari kulit) kemudian beliau berwudlu dan aku pun berwudlu bersama beliau, lalu beliau berdiri (untuk melakukan shalat) dan aku pun berdiri di sebelah kirinya, maka beliau menjadikan (memindahkan) aku berada di sebelah kanannya, kemudian beliau meletakkan tangannya di atas kepalaku, seolah-olah beliau memegang telingaku, seolah-olah beliau membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat ringan-ringan, beliau membaca ummul-Qur’an pada setiap raka’at, kemudian beliau mengucapkan salam sampai beliau salat sebelas raka’at dengan witirnya, kemudian beliau tidur. Maka sahabat Bilal menghampirinya sambil berseru; waktu salat wahai Rasulullah, lalu beliau bangkit (bangun dari tidurnya) dan salat dua rakaat, kemudian memimpin salat orang banyak.[HR.Abu Dawud; kitab as-Shalat, bab fi shalat al-Lail, hadis no. 1157]

2.      Hadis riwayat Hudzaifah:

عن حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَانِ قَالَ : أَتَيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ ، فَتَوَضَّأَ وَقَامَ يُصَلِّي ، فَأَتَيْتُهُ ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِه ، فَأَقَامَنيَ  عَنْ يَمِيْنهِ ، فَكَبَّرَ ، فَقَالَ : « سُبْحَانَ اللهِ ذِي اْلَمَلَكُوْتِ ، وَالْجَبَرَوت  ، وَالْكِبْرِيَاءِ ، وَالْعَظَمَةِ »-الْحَدِيْثُ
 [اَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِى فِى اْلأَوْسَطِ وَقَالَ فِى مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ: رِجَالُهُ مُوَثَّقُوْنَ: الجزء الول: 107]

Artinya: Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman ia berkata: Aku pernah mendatangi Nabi saw pada suatu malam. Beliau mengambil wudlu kemudian shalat lalu aku menghampirinya dan berdiri di sebelah kirinya lalu aku di tempatkan di sebelah kanannya, kemudian beliau bertakbir dan membaca: Subha-nallah dzil malakuti wal-jabaruti wal-kibriya-i wal-‘adzamah.” [HR. ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan mengatakan bahwa perawinya orang terpecaya, juz 1: 107]


Penjelasan:

Hadis riwayat Abu Dawud di atas, dalam kitab as-Shalat,  bab fi shalat al-Lail, hadis no. 1157 dan hadis riwayat ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath  juz 1: 107 menjelaskan bahwa pada suatu malam Hudzaifah al-Yamani shalat iftitah 2 rakaat bersama Rasulullah saw, ia (Hudzaifah) berada di sebelah kiri Rasulullah saw kemudian beliau memindahkan posisinya ke sebelah kanan beliau.
Dalam kitab syarah sunan Abu Dawud dijelaskan bahwa kalimat
  فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ 
Menjadi dalil tentang posisi makmum yang hanya seorang berada di sebelah kanan imam. Apabila ada seorang makmum berdiri di sebelah kiri imam, maka makmum tersebut hendaklah bergeser (pindah) ke sebelah kanan imam, dan jika makmum tidak bergeser (pindah posisi), maka imam memindahkan makmum tersebut ke sebelah kanannya.

Berdasarkan atas pemahaman terhadap kedua hadis di atas dan syarahnya, kami berkesimpulan bahwa shalat iftitah yang dilakukan oleh Nabi saw bersama dengan Hudzaifah al-Yamani dilaksanakan dengan berjamaah. Dengan demikian sebagaimana yang bapak tanyakan, bahwa shalat iftitah dapat dilaksanakan dengan berjamah berdasar pada kedua hadis tersebut.

Wallahu alam bish-shawab. *A.56h)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Muhammadiyah dukung Fatwa MUI tentang Haram "Kuburan Mewah"

Terkait dengan Fatwa Haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya jual beli lahan untuk pemakaman mewah PP Muhammadiyah menyepakati fatwa haram tersebut karena jual beli lahan untuk pemakaman mewah itu dianggap sudah berlebihan

“Yang nggak diperbolehkan itu bermewah-mewahan, kan satu orang cukup 1x 2 meter, ini bisa sampai puluhan meter luasannya, dibuatkan joglonya. Ini israf (berlebihan),” kata Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih, Tajdid dan Pemikiran Islam Yunahar Ilyas, di Jakarta, Rabu (26/02/2014) dikutip Antara.

Menurut dia, pemakaman yang dibuat secara mewah, selanjutnya bisa mengurangi luas lahan yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih berguna. Dikatakannya, dengan bisnis pemakaman mewah yang banyak diperjual-belikan bisa menimbulkan kecemburuan sosial orang yang masih hidup terhadap orang meninggal.

Dia mencontohkan pemakaman mewah di Mesir malah dijadikan tempat tinggal oleh penduduk setempat. Hal tersebut karena warga Mesir kekurangan lokasi untuk tempat tinggal.
“Mereka tinggal di kuburan, mereka bawa tempat tidur, televisi. Mereka nyaman disana karena lantainya berkeramik, ada atapnya,” kata dia.

Pemakaman mewah, menurut dia bisa berujung pada pengkultusan individu yang menyebabkan musyrik. Itulah salah satu sebab Islam melarang pemakaman mewah.
Dia menjelaskan bahwa Islam mensyariatkan sebuah makam hanya boleh dilengkapi dengan sebuah patok saja sebagai tanda.
“Menurut sunnah nabi, makam tidak boleh dibuat permanen, tidak boleh ditinggikan, tidak boleh diberi tembok dan atap,” kata dia.

Pihaknya mengatakan bahwa sebuah makam bisa ditumpuk dengan jenazah yang lain setelah dalam kurun waktu tertentu untuk menghemat lahan.
Menurut dia, hal tersebut biasanya dilakukan untuk jenazah-jenazah yang memiliki hubungan keluarga.
“Kuburan yang ditumpuk itu untuk menghemat lahan, dalam hukum Islam tidak masalah,” kata dia.
  Sebelumnya Mejelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa haram terkait jual beli lahan pemakaman mewah. 
Majelis Ulama Indonesia (MUI) prihati dengan semakin maraknya pemakaman muslim modern, mewah dengan harga mahal . Menurut MUI, hal ini tidaklah sesuai ajaran Islam. Pernyataan ini dikatakan KH Ma’ruf Amin,
“Pemakaman itu sebaiknya sederhana saja. Hukum membangun makam itu makruh kalau di tanah milik sendiri. Kalau di tanah wakaf tentu haram hukumnya,” kata Kiai Ma’ruf.*