Monday, April 7, 2014

Sudah Kredibel kah Bank Syariah di Indonesia ?

Di tengah perjalanannya yang sudah lebih dari dua dasawarsa ini masih banyak masyarakat yang pesimis dalam merespons hadirnya perbankan syariah. Sejak berdiri hingga kini banyak kalangan yang menghujani keberadaan bank yang anti bunga ini dengan berbagai kritikan pedas. Misalnya, ada masyarakat yang beranggapan bahwa perbankan syariah adalah kapitalisme gaya baru yang hanya dibungkus dengan label syariah, ada juga yang menyatakan produk perbankan syariah itu kurang inovatif dan cenderung meniru alias copy paste dari perbankan konvensional.
Pesimisme masyarakat semakin diperparah oleh beberapa kasus pembobolan bank yang berbasis syariah, seperti kasus Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Utama Bogor beberapa waktu lalu. Yang lebih aneh lagi, yang menjadi aktor dalam kejahatan ini adalah pihak internal bank di mana memberikan pembiayaan kepada 197 nasabah fiktif dengan total kredit mencapai Rp 102 miliar.
Kejahatan yang melibatkan pihak internal bank ini kian memperkuat anggapan sebagian masyarakat jika bank syariah itu tidak ubahnya bank konvensional yang dipoles dengan kata syariah. Namun di sini, penulis menilai sikap skeptis tersebut merupakan hal wajar apalagi industri keuangan syariah di Indonesia masih tergolong baru jika dibandingkan dengan industri keuangan konvensional. Sebenarnya pesimisme ini juga dilatar belakangi oleh kurang pahamnya publik terhadap model keuangan syariah.
Kasus yang terjadi pada BSM tidak bisa dijadikan argumen bahwa perbankan syariah dalam praktiknya tidak sesuai dengan syariah. Meminjam istilah Dr. Muhammad Syafii Antonio, jika ada orang Muslim yang berzina, melakukan praktik riba ataupun ada anggota DPR korupsi, yang salah itu bukan lembaga atau Islamnya tetapi oknum yang melakukan kejahatan tersebut.

Perbaiki Reputasi
Di usianya yang sudah lebih 20 tahun industri perbankan syariah terus membuktikan keunggulannya sebagai lembaga keuangan yang bebas bunga meskipun di tengah perjalanannya masih banyak hambatan yang mesti diperbaiki dan menjadi perhatian bersama.
Dari data Bank Indonesia (BI), tercatat aset perbankan syariah per Oktober 2013 meningkat menjadi Rp 229,5 triliun (yoy). Bila ditotal dengan aset Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah, maka aset perbankan syariah mencapai Rp 235,1 triliun (www.kemenkeu.go.id, 16/12/2013).
Data yang dilansir oleh BI tersebut patut disyukuri dan digenjot lagi agar aset dan market shareperbankan syariah ke depan semakin meningkat. Tentunya dengan terus berbenah diri dan meyakinkan publik bahwa model perbankan anti bunga ini memiliki keunggulan terutama ketika dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tidak stabil. Memang tidak mudah mengambil kepercayaan publik apalagi untuk beralih dari sistem keuangan berbasis bunga kepada keuangan non-bunga. Di sini diperlukan kerja keras dan sinergi berbagai pihak untuk mengembalikan trust (kepercayaan) masyarakat. Setidaknya ada beberapa poin penting untuk menjaga kredibilitas perbankan syariah ke depan.
Pertama, perkuat SDM. Indonesia saat ini masih memiliki hambatan dalam pengembangan SDM, baik kualitas maupun kuantitas. Di sinilah diperlukan sinergi antara institusi pendidikan, pemerintah dan lembaga keuangan bagaimana caranya kebutuhan SDM yang membludak dapat terpenuhi. Di samping itu, institusi pendidikan harus mampu melahirkan SDM yang benar-benar menguasai dua disiplin ilmu sekaligus, yaitu ilmu ekonomi dan syariah.
Kedua, inovasi produk. Seperti kita ketahui produk bank syariah masih sangat terbatas. Keterbatasan ini berpengaruh pada pelambatan pengembangan pasar bank syariah itu sendiri. Inovasi produk yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan pasar nantinya diharapkan bisa menjaring nasabah yang lebih banyak lagi. Karenanya, bank syariah  perlu mengembangkan produknya menjadi lebih bervariasi. Sebab, ketertarikan masyarakat terhadap perbankan syariah di masa mendatang akan dipengaruhi oleh kemampuan perbankan syari’ah mendesain produk-produk yang bervariasi, menarik, dan sesuai kebutuhan pasar.
Ketiga, mengedukasi masyarakat. Edukasi sangat penting untuk memberikan pemahaman terkait kelebihan keuangan syariah dibandingkan keuangan konvensional. Publik harus tahu perbedaan paling mendasar antara sistem syariah dengan konvensional, sehingga tidak ada lagi yang beropini bahwa syariah itu hanya label saja. Syafruddin Alwi (2013) menyatakan, labeling syariah pada bank syariah bukanlah kelatahan tetapi memiliki tujuan memurnikan produk-produk bank syariah, agar sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai syariah.
Keempat, peran Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS bertanggungjawab untuk memastikan semua transaski harus sesuai dengan prinsip syariah. Peran ini penting agar masyarakat terus menaruh kepercayaan dan tidak ada lagi orang yang pesimis ataupun ragu menggunakan produk perbankan syariah.
Dalam menjalankan tugasnya yang cukup berat perlu optimalisasi peran DPS. Salah satu caranya adalah dengan merekrut DPS yang benar-benar berkompeten dan paham dalam bidang ekonomi dan juga syariah. Strategi ini penting agar di masa mendatang peran DPS menjadi lebih baik lagi sehingga respons positif masyarakat terhadap keuangan syariah terus meningkat.
Semoga dengan empat strategi ini reputasi perbankan syariah terus membaik dan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Dengan begitu, pada gilirannya akan menggugah publik untuk beralih dari perbankan yang kapitalis ke perbankan syariah yang lebih berkeadilan. [tabligh.or.id]
Herman

Anggota Lembaga Pengkajian Perbankan dan Ekonomi Syariah (LKPES) FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta

No comments:

Post a Comment