Di antara tema penting yang diangkat dalam Al Qur’an yaitu tentang kepemimpinan. Hal ini dapat dilihat dari ayat-ayat Al Qur’an yang begitu banyak menyebutkan tentang kepemimpinan. Sosok pemimpin yang baik tentu saja adalah yang bertaqwa kepada Allah Swt dan yang memimpin umat berdasarkan syariah-Nya.
Pemimpin yang bertaqwa dapat membawa rakyatnya untuk senantiasa hidup dalam kebajikan dan sudah pasti akan membukakan pintu keberkahan Allah Swt dari langit dan bumi. Sebagaimana firman Allah Swt, “Andaikan penduduk suatu negeri mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi…” (Q.S. Al A’raf [7] : 96)
Namun demikian, saat ini umat Islam di Indonesia dihadapkan pada masalah yang pelik. Kemunculan para pemimpin amoral seperti pelaku korupsi, mafia pajak, mafia kasus, perusak lingkungan serta artis-artis cabul yang mencalonkan diri dalam Pemilu Legislatif (Pileg) membuat kita prihatin. Patut direnungkan hadits Rasulullah Saw, “Jika amanah disia-siakan, tunggu saat kehancuranannya!” Para Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi Saw menjawab, “Jika sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya!” (H.R. Bukhari).
Jelas, orang-orang amoral termasuk para koruptor, mafia dan artis-artis seronok ini tidak layak mengatur urusan rakyat yang merupakan hal utama dalam politik. Seorang pemimpin politik haruslah memahami segala persoalan masyarakat dan solusinya. Bagaimana mereka dapat menyelesaikan masalah kehancuran moral bangsa, misalnya, sementara mereka sendiri secara moral bermasalah? Kalau kepemimpinan politik ini diserahkan kepada mereka maka tunggu saja kehancurannya!
Rasulullah Saw juga bersabda tentang munculnya Ruwaibidhah, “Akan datang kepada manusia pada tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Saat itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang jujur malah didustakan; pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dianggap pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (H.R. Ibnu Majah).
Melihat fenomena perpolitikan yang sedang berkembang saat ini, kita merasa kesulitan mencari pemimpin yang memiliki integritas, mampu menyemangati dan bisa menginsiprasi dalam hal kejujuran dan tanggung jawab, bukan hanya pada urusan dunia, tetapi juga tanggungjawabnya pada Allah Swt. Banyak pemimpin yang menebar ucapan, dan janji-janji manis untuk kebaikan dan kemakmuran rakyat, namun nyatanya mereka sendiri yang mengingkarinya. Akan tetapi, tidak sepatutnya kita menjadi insan yang berputus asa, karena Allah melarang seorang yang beriman untuk berputus asa dalam kondisi dan kesulitan apapun yang telah menimpa kita. Urusan kepemimpinan sebagai hal yang penting tidak dapat kita abaikan begitu saja dengan sikap apatis. Apatisnya umat Islam dalam hal kepemimpinan di Indonesia sama artinya kita merelakan kepemimpinan di negeri ini direbut dan dikuasai oleh orang-orang non Muslim dan pelaku-pelaku maksiat.
Terkait dengan kondisi faktual di atas, perlu kiranya disampaikan kembali hasil Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) V di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta tanggal 7-10 Mei 2010 lalu. Kongres ini menyepakati pentingnya kriteria moralitas dalam penentuan seorang pemimpin, baik kepemimpinan pada tingkat lokal, nasional maupun global.
Dalam KUII V itu, para ulama dan tokoh ormas Islam menunjukkan tanggung jawabnya. Mereka merespon fakta politik kekinian tersebut sekaligus memberikan arah yang benar bagaimana umat harus menentukan pilihan-pilihannya. Ini terlihat dari poin-poin rekomendasi yang dihasilkan dan inti deklarasi yang disampaikan di akhir kongres tersebut, yang antara lain menyatakan:
1) Peserta Kongres Umat Islam memandang pentingnya kepemimpinan umat sebagai perwujudan perjuangan menerapkan amar makruf nahi mungkar dalam rangka menegakkan syariah Islam pada seluruh sendi kehidupan bangsa dan negara (Poin 4 Deklarasi KUII-V).
2) Mendesak Pemerintah dan pihak terkait untuk membuat regulasi (aturan) tentang pengetatan kriteria pimpinan di setiap level yang bersih dari calon pemimpin yang cacat moral (amoral). (Poin 3, Rekomendasi C. Politik Kebangsaan).
3) Menghimbau umat Islam untuk memilih calon pemimpin di semua tingkatan yang memiliki paradigma, karakter dan visi yang sesuai ajaran Islam (Poin 4, Rekomendasi C. Politik Kebangsaan).
Poin-poin tersebut diharapkan dapat menjadi panduan bagi umat Islam Indonesia dalam menentukan pilihan. Pilihan haruslah ditetapkan pada yang terbaik yang kita ketahui. Dalam Kitab as-Siyasah Syar’iyyah, Syeikhul Islam, Ibnu Taimiyyah mengutip hadits Rasulullah Saw yang memperingatkan kaum Muslimin agar berhati-hati dalam memilih pemimpin: “Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR Al-Hakim). [Majalah Tabligh No.6/XI April 2014]
No comments:
Post a Comment