Sebuah tulisan dari Buya Syafii Maarif , mantan Ketua PP Muhammadiyah , cendikiawan muslim yang diakui integritasnya terhadap semangat keislaman sekaligus semangat kebangsaan, beliau menjadi guru bangsa ditengah carut marutnya kehidupan berbangsa kita saat ini.
Kita akan membicarakan isu yang sangat peka, saya harus bersikap hati-hati dengan mengutip sumbernya lebih dulu. Ada dua sumber yang dijadikan dasar analisis: 1. Artikel oleh Soeren Kern, “Islam: Fastest-Growing Religion in Britain,” 18 Des. 2012(http://www.gatestoneinstitute.org/3500/islam-growing-religion-britain [1]); 2. Artikel oleh Vincent Cooper, “The Islamic Future of Britain,” 13 Juni 2013 http:www.thecommentator.com/article/3770/the islamic future of britain).
Sekalipun ada pihak yang menyangsikan kebenaran angka-angka statistik yang dikutip kedua penulis, karena kata mereka, proyeksi pertambahan penduduk bukanlah ilmu yang pasti. Boleh jadi laju pertumbuhan angka kelahiran Muslim akan turun ke tingkat yang berlaku rata-rata di Eropa. Tetapi kedua penulis di atas membantah kesangsian itu dengan mengatakan bahwa pada tahun 2050 berdasarkan proyeksi demografis, Muslim akan menjadi mayoritas rakyat Inggris. Dengan demikian, dalam jangka waktu 36 tahun lagi, segalanya akan berubah secara dramatis dan radikal di negeri yang sekian ratus tahun dihuni oleh mayoritas umat Kristen itu.
Vincent Cooper bahkan menulis dengan nada yang agak cemas sebagai berikut: “Lenskap sosial Inggris juga akan berubah. Azan, panggilan Muslim untuk salat, sangat mungkin akan terdengar hampir di seluruh Inggris. Pemandangan ikonik dan suara-suara tradisional negeri itu juga akan berubah dari menara-menara lonceng gereja menjadi menara-menara masjid.” Perubahan ini, tulis Cooper, “sepenuhnya akan berlangsung secara demokratik,” tetapi mengapa kelas politik Inggris mendiamkan semuanya ini, penulis ini bertanya. “Para politisi Inggris tidak bisa mengungkapkan kebenaran menyeluruh tentang masalah imigrasi,” lanjut Cooper. Imigran Muslim yang datang ke Inggris merupakan salah satu faktor mengapa ramalan di atas akan menjadi kenyataan.
Sekalipun faktor imigrasi merupakan penyebab utama bagi pertambahan penganut Islam di Inggris, “juga adalah benar,” tulis Kern, “karena ratusan orang Inggris saban bulan menjadi pemeluk Islam.” Kern membeberkan fakta ini: “Survei mencatat bahwa hampir dua pertiga yang pindah agama itu adalah kaum perempuan, lebih 70% kulit putih dan usia rata-rata 27 tahun.” Kern kemudian mengutip hasil survei yang dilakukan Kevin Brice dari Universitas Swansea di Wales yang menanyakan mengapa mereka pindah agama.
Jawaban yang diberikan bertalian dengan sisi negatif dari kultur Inggris berupa: “alkohol dan mabuk-mabukan,” “kerapuhan moralitas dan praktik serba boleh dalam hubungan seksual,” dan “juga konsumerisme yang tak terkendali.” Selain itu, banyak di antara penghuni penjara Inggris berpindah ke agama Islam. Penghuni penjara non-Muslim tetap saja terkunci dalam penjara saat salat Jum’at karena begitu banyak sipirnya diperlukan untuk mengawasi pada pelayanan jam-jam makan. “Akibatnya, banyak di antara anak muda yang kecewa ini tertarik kepada Islam dengan harapan akan memperoleh makanan yang lebih baik dan perlakuan yang terhormat dalam penjara.”
Faktor lain, menurut para pengamat, tulis Kern: “…jatuhnya gereja-gereja Kristen tradisional di Inggris, suatu kecenderungan yang dibarengi oleh penolakan atas kode-kode moral Judeo-Christian (Yahudi-Kristen) dalam masyarakat Inggris, sedang menciptakan sebuah kekosongan spiritual yang mulai diisi oleh Islam.” Ujungnya, berdasarkan Sensus Gereja Inggris tahun 2005, dalam tenggang waktu lebih tiga dasa warsa ke depan, pengunjung gereja akan turun dua pertiga, dan sekitar 18 ribu gereja harus ditutup. Saya tidak gembira membaca berita ini.
Bagaimana kita menafsirkan fenomena yang yang tidak mengenakkan pihak gereja ini? Apakah gelombang Islam yang diperkirakan naik di Inggris itu, baik bagi Eropa? Jawabannya, perlu sikap yang lebih arif, jangan terbuai oleh data kuantitif, sebagaimana yang akan dibiciarakan lebih jauh.
Posisi pokok saya adalah: data kuantitatif tanpa diiringi oleh data kualitatif bisa menjadi beban sejarah, bahkan tidak mustahil jadi bumerang. Posisi ini sudah saya yakini sejak masih kuliah di Universitas Chicago abad yang lalu. Mengikuti informasi seperti di atas, perasaan saya menjadi campur aduk, antara cemas dan senang. Cemas, jika Islam yang dikembangkan di Inggris itu bercorak yang membelenggu kebebasan manusia untuk berfikir dan berekspresi; senang, siapa tahu Islam di Inggris itu akan menemukan darah baru yang lebih segar untuk menggantikan fosil pemikiran yang sudah lama membeku di berbagai bumi Muslim. Karena menfosil, orang kehilangan harapan, sebagaimana yang berulang saya tulis ini.
Sebelum sampai kepada catatan yang konklusif, angka-angka statistik dari Kern dan Cooper tentang perkembangan Islam dan agama-agama lainnya di Inggris, dan juga sebenarnya berlaku di berbagai bumi Barat lainnya, perlu diturunkan lagi. Saya ingin menghindari diri dari sikap partisan dalam membaca fenomena baru ini. Banyak pertanyaan yang mengganggu otak saya ketika menulis ini.
Data sensus pemerintah Inggris yang digunakan Kern diumumkan pada 11 Des. 2011 hanya untuk Inggris dan Wales. Sedangkan untuk Irlandia Utara dan Skotlandia, dilakukan secara terpisah. Sensus ini menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen di Inggris dan Wales turun 11% (4.1 juta) selama 10 tahun terakhir, dari 37.3 juta tahun 2001 menjadi 33.2 juta tahun 2011.Sebaliknya pada periode yang sama, jumlah umat Islam meningkat 80% (1.2 juta), dari 1.5 juta tahun 2001 menjadi 2.7 juta tahun 2011. Karena perubahan demografis ini, Islam telah muncul sebagai agama kedua terbesar di Inggris dan Wales.
Agama timur lainnya, yaitu Hindu menjadi agama terbesar ketiga di Inggris dan Wales dengan pemeluk 817 ribu, diikuti oleh pemeluk Sikh dengan angka 423 ribu, Budha 248 ribu, dan Yahudi 263 ribu. Penduduk Inggris tahun 2011 berjumlah 56.07 juta. Yang mengaku Kristen turun dari 72% tahun 2001 menjadi 59% tahun 2011. Jumlah umat Islam yang semula 3% meningkat menjadi 5% dalam satu dasa warsa. Sebagian analis bahkan percaya bahwa jumlah umat Islam yang riil melebihi angka itu, karena menyebut masalah agama hanyalah suka rela dalam sensus 2011 itu. Ada sebanyak 7.2% yang tidak menuliskan agamanya dalam sensus itu.
Yang sedikit mengagetkan adalah fakta bahwa mereka yang mengaku tidak berafiliasi dengan agama tertentu melonjak 83%, dari 7.7 juta tahun 2001 menjadi 14.4 juta tahun 2011. Artinya, seperempat penduduk Inggris dan Wales adalah manusia yang tidak beragama. Dengan perkataan lain, jika penganut agnostisisme (tak hirau dengan agama) dan ateisme semakin membesar, lonjakan jumlah umat Islam adalah karena imigrasi dan pemeluk baru melalui konversi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Demikian itulah perubahan peta demografis berdasarkan agama yang sedang berlangsung di Inggris dan Wales. Jika laju angka-angka statistik itu tetap tak berubah, maka pada tahun 2050, kata Cooper, suara azan di seluruh Inggris dan Wales akan mengalahkan bunyi lonceng gereja.
Mengapa saya cemas dan sekaligus senang dengan perubahan yang dramatis itu? Sebagian jawabannya telah diberikan sebelumnya. Tetapi terbersit kegelisahan saya dalam membaca serba kemungkinan itu. Selama sekian abad, Islam belum juga berjaya membebaskan penganutnya dari penyakit primordialisme suku, sejarah, faham agama, dan latar belakang kultur yang sering anti-Alquran dan sangat memecah belah. Tengoklah apa yang berlaku di Afghanistan, Suria, Iraq, Sudan, dan di belahan bumi Muslim lainnya.
Penyakit primordialisme itu telah menghancurkan prinsip meritokrasi, sebagaimana diminta oleh ayat 13 surat al-Hujurât dengan menempatkan kriteria taqwa sebagai penentu posisi seseorang. Dalam ayat ini, posisi si Indonesia, si Arab, si Nigeria, si Palestina, si Pakistan, si Sudan, dan 1001 si lainnya ditentukan oleh kualitas taqwanya di sisi Allah. Dalam pemahaman saya, semestinya kriteria ketaqwaan inilah yang dijadikan acuan untuk menempatkan seorang Muslim pada posisi yang terhormat dan mulia. Bukan kriteria lain. Tetapi alangkah sulitnya. Primordialisme telah menjadi berhala selama kurun yang panjang.
Maka jika proyeksi statistik di atas menjadi realitas tahun 2050 itu, apakah umat Islam Inggris dan Wales itu masih akan baku hantam sesamanya, demi memberhalakan primordialisme? Semoga kegelisahan saya tidak punya dasar, dan umat Islam di sana akan serentak menghancurkan penyakit sosio-kultural yang telah menguras energi secara sia-sia itu. Islam kenabian dan Islam Alquran menegaskan bahwa umat beriman itu bersaudara, lahir dan batin. Ke arah tujuan persatuan itulah, roda sejarah harus digulirkan. Data kuantitas penting, tetapi data kualitas jauh lebih penting. Semoga.
Data sensus pemerintah Inggris yang digunakan Kern diumumkan pada 11 Des. 2011 hanya untuk Inggris dan Wales. Sedangkan untuk Irlandia Utara dan Skotlandia, dilakukan secara terpisah. Sensus ini menunjukkan bahwa jumlah umat Kristen di Inggris dan Wales turun 11% (4.1 juta) selama 10 tahun terakhir, dari 37.3 juta tahun 2001 menjadi 33.2 juta tahun 2011.Sebaliknya pada periode yang sama, jumlah umat Islam meningkat 80% (1.2 juta), dari 1.5 juta tahun 2001 menjadi 2.7 juta tahun 2011. Karena perubahan demografis ini, Islam telah muncul sebagai agama kedua terbesar di Inggris dan Wales.
Agama timur lainnya, yaitu Hindu menjadi agama terbesar ketiga di Inggris dan Wales dengan pemeluk 817 ribu, diikuti oleh pemeluk Sikh dengan angka 423 ribu, Budha 248 ribu, dan Yahudi 263 ribu. Penduduk Inggris tahun 2011 berjumlah 56.07 juta. Yang mengaku Kristen turun dari 72% tahun 2001 menjadi 59% tahun 2011. Jumlah umat Islam yang semula 3% meningkat menjadi 5% dalam satu dasa warsa. Sebagian analis bahkan percaya bahwa jumlah umat Islam yang riil melebihi angka itu, karena menyebut masalah agama hanyalah suka rela dalam sensus 2011 itu. Ada sebanyak 7.2% yang tidak menuliskan agamanya dalam sensus itu.
Yang sedikit mengagetkan adalah fakta bahwa mereka yang mengaku tidak berafiliasi dengan agama tertentu melonjak 83%, dari 7.7 juta tahun 2001 menjadi 14.4 juta tahun 2011. Artinya, seperempat penduduk Inggris dan Wales adalah manusia yang tidak beragama. Dengan perkataan lain, jika penganut agnostisisme (tak hirau dengan agama) dan ateisme semakin membesar, lonjakan jumlah umat Islam adalah karena imigrasi dan pemeluk baru melalui konversi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Demikian itulah perubahan peta demografis berdasarkan agama yang sedang berlangsung di Inggris dan Wales. Jika laju angka-angka statistik itu tetap tak berubah, maka pada tahun 2050, kata Cooper, suara azan di seluruh Inggris dan Wales akan mengalahkan bunyi lonceng gereja.
Mengapa saya cemas dan sekaligus senang dengan perubahan yang dramatis itu? Sebagian jawabannya telah diberikan sebelumnya. Tetapi terbersit kegelisahan saya dalam membaca serba kemungkinan itu. Selama sekian abad, Islam belum juga berjaya membebaskan penganutnya dari penyakit primordialisme suku, sejarah, faham agama, dan latar belakang kultur yang sering anti-Alquran dan sangat memecah belah. Tengoklah apa yang berlaku di Afghanistan, Suria, Iraq, Sudan, dan di belahan bumi Muslim lainnya.
Penyakit primordialisme itu telah menghancurkan prinsip meritokrasi, sebagaimana diminta oleh ayat 13 surat al-Hujurât dengan menempatkan kriteria taqwa sebagai penentu posisi seseorang. Dalam ayat ini, posisi si Indonesia, si Arab, si Nigeria, si Palestina, si Pakistan, si Sudan, dan 1001 si lainnya ditentukan oleh kualitas taqwanya di sisi Allah. Dalam pemahaman saya, semestinya kriteria ketaqwaan inilah yang dijadikan acuan untuk menempatkan seorang Muslim pada posisi yang terhormat dan mulia. Bukan kriteria lain. Tetapi alangkah sulitnya. Primordialisme telah menjadi berhala selama kurun yang panjang.
Maka jika proyeksi statistik di atas menjadi realitas tahun 2050 itu, apakah umat Islam Inggris dan Wales itu masih akan baku hantam sesamanya, demi memberhalakan primordialisme? Semoga kegelisahan saya tidak punya dasar, dan umat Islam di sana akan serentak menghancurkan penyakit sosio-kultural yang telah menguras energi secara sia-sia itu. Islam kenabian dan Islam Alquran menegaskan bahwa umat beriman itu bersaudara, lahir dan batin. Ke arah tujuan persatuan itulah, roda sejarah harus digulirkan. Data kuantitas penting, tetapi data kualitas jauh lebih penting. Semoga.
(sumber :resonansi, Republika)
No comments:
Post a Comment