Sunday, March 23, 2014

Kyai R.H. Hadjid : “Beranikah Beragama Islam”

Meneladani Kepemimpinan Tokoh-tokoh Muhammadiyah

Oleh :K.H. S. Ibnu Juraimi (alm)

Terkait dengan ungkapan berani beragama Islam, saya akan menceritakan tentang tokoh yang lain, yaitu murid beliau yang bernama Kiyai R.H. Hadjid. Beliau adalah satu-satunya murid yang mencatat pelajaran KHA Dahlan, dan mantan Direktur Mu’allimin yang kedua. Di Muhammadiyah ini beliau mendapat julukan Asyaddul Muhammadiyah (Singanya Muham-madiyah). Di masa-masa tuanya, beliau biasa disebut dengan sebutan Jago Tuanya Muham-madiyah. Sebab kalau beliau ini berpidato di hadapan massa sangat bersemangat. Kalau mendidik kader-kadernya anak-anak Mu’alli-min, kalau mau dibenum (istilahnya demikian), ditugaskan ke luar daerah, murid-murid tersebut diajak ke Pantai Parangtritis, pada jam 2-3 dini hari untuk menantang Nyi Roro Kidul. Itu merupakan latihan mental yang cukup berat. Padahal Nyi Roro Kidul itu dapat dikatakan tuhannya orang Jawa.

Saya mengambil banyak pelajaran dari beliau, dari sisi keberanian. Kalau tadi saya mengungkap kalimat: “Beranikah beragama Islam” memang yang menonjol dari Pak Hadjid adalah dalam hal ini. Tahun 1926, ada pegawai Pamongpraja, pegawai pemerintah, termasuk juga sebagai murid KHA Dahlan, karena pernah mengikuti pengajiannya Kyai Haji Ahmad Dahlan, seorang lulusan sekolah pemerintah. Satu saat dia melaporkan kepada Muhammadiyah kalau ada rencana Pemerintah Hindia Belanda mau membubarkan Muhammadiyah.

Mendengar kabar itu, Tujuh Serangkai: Ki Bagus Hadikusumo, Kyai Sujak, Kyai Ibrahim, Kyai Hisyam, Kyai Fachruddin (bukan bapak-nya Pak AR Fachruddin), Kyai Muchtar, dan yang paling muda Kyai Raden Haji Hadjid, pergi ke pantai Parangtritis. Mereka duduk melingkar berbaiat untuk mempertahankan Muhammadiyah sampai titik darah yang penghabisan.

Cerita ini juga tidak terungkap dalam sejarah. Tapi, ada lagu yang bisa menggam-barkan bagaimana semangat mereka, yang sayangnya saat ini sudah tidak dikenal lagi di kalangan anak muda. Lagu ini memakai bahasa Jawa. Syairnya dari Abdurrahman Al-Kawakibi, tangan kanannya Al-Ikhwan. Lagunya diambil dari lagu Revolusi Perancis, berikut ini.

WIS SIAP MATI
(Mars Revolusi Perancis)

Pra prajurit kang wus padha nampa
Baiate kang Maha Mulya
Dhatan mundhi mring sopo-sopo
Mung Allah ingkang kuwasa
Sanajan tumeking palastra
Ngibarke gendera agama
Islam…..agama sak donya
Amrih rukune pra jalma
Nyernaken sedaya sangsara
Gempur…..panguwasa angkara
Nyegah…. laku murka
Ben Santosa ing sedyanira
Wus mesthi tumeka

(Di-bahasa Indonesiakan oleh H. Budi Setiawan dan M. Bazzar Marzuqi sebagai berikut.)

SUDAH SIAP MATI

Hai prajurit yang t’lah trima
Baiatnya yang Maha Mulia
Tidak menyembah k’pada siapa
Hanya Allah yang Maha Kuasa
Meski sampai mati pun
Kibarkan bendera agama
Islam …agama se dunia
Agar damainya manusia
Hilangkan semua sengsara
Gempur…. Penguasa angkara
Cegah…. langkah aniaya
Agar sentosa kalian semua
Yang pasti ‘kan datang

Kalau Bapak-Bapak punya buku tentang Kyai haji Ahmad Dahlan karangan Solichin Salam, di situ ada foto atau gambarnya pasukan Nabi Muhammad. Jadi, semangat para pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu seperti itu dalam menghadapi penguasa Belanda.

Saya tambah satu lagi. Di atas telah saya sebut nama Kyai Fachruddin. Ada catatan kecil tentang beliau. Sayang, beliau terlalu muda ketika meninggal dunia. Tapi beliau sempat menjadi Pahlawan Nasional. Haji Fachruddin adalah tokoh yang sangat mukhlis, ikhlas. Biasa datang di kantor PP Muhammadiyah, melayani orang-orang Ranting yang datang ke sana. Kalau mendidik kader-kader Mubaligh selalu beliau tanyai: mau tabligh di mana. Kemudian ditanya lagi (misalnya mau tabligh di Magelang): kalau tabligh di Magelang, sekiranya yang mende-ngarkan kamu cuma tiga orang: protokol, panitia dan yang punya rumah, apa kamu kecewa?. Sebelum muridnya menjawab, dijawab sendiri oleh Kyai Fachruddin: kalau kamu kecewa, jangan berangkat. Atau kamu nanti datang ke Magelang, kamu disambut meriah dengan pawai dan pasukan drumb band, kemudian kamu dikalungi tikus, apa kamu bangga? Kalau bangga, jangan berangkat. Inilah semangat keikhlasan beliau di dalam berjuang, berdakwah, berjihad, jangan sampai dipengaruhi oleh hawa nafsu senang dan susah. Ini yang sering menjadi penyakit di Muhammadiyah dewasa ini.Tidak diberi bekal sesuai harapannya, kecewa. Kemudian ketika pulang dari tugas tidak diberi sesuatu juga kecewa. Inilah yang membuat kita seperti ini ya begini ini.

No comments:

Post a Comment