Tuesday, March 11, 2014

Spirit Surat Al Maun : Islam dan Kepedulian Sosial

Muhammadiyah menjadi pelopor gerakan filantropi atau pembelaan terhadap kaum mustad'afin di Indonesia, sebuah entitas yang tetap menjadi ruh perjalanan gerakan sepanjang massa.

Tahukah Kamu orang yang mendustakan agama?
Mereka itu yang menghardik anak yatim
Dan tidak menyuruh memberi makan orang miskin
Maka celakalah bagi orang yang shalat
Yaitu orang yang lalai dalam shalatnya
Dan orang-orang yang riya’
Dan orang-orang yang enggan menolong dengan barang berguna

Alkisah, KH. Ahmad Dahlan sedang yang memberikan pengajian kepada para muridnya. Materi pengajiannya, sudah beberapa bulan membahas surat yang sama yaitu Al-Maun.  Sampai pada suatu hari, salah seorang murid bertanya kepada kyai itu, “Pak Kyai, pengajiannya kok membahas Al Maun terus, kapan mengaji surat lain?” Lantas kyai itu pun balik bertanya, “Sudahkah kamu mengamalkan surat ini?” Si murid menjawab,”sudah kyai, saya sudah menggunakan surat ini dalam shalat saya, dan suka dibaca berulang-ulang di rumah”. “Bukan begitu..” kata sang kyai. “Sudahkah kamu mengamalkan kandungan surat ini? Sudahkah kamu peduli pada anak yatim di sekitarmu? Sudahkah kamu memberi santunan terhadap orang miskin di sekitarmu? Kalau belum, berarti kamu belum benar-benar mengamalkan surat ini.” Akhirnya, setelah itu, sang kyai dan para muridnya berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat dimana banyak orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Mereka kemudian membawa kaum dhuafa tersebut ke suraunya, diberi makan, diberi pakaian dan diberi pendidikan.

Begitulah secuplik kisah tentang spirit surat Al-Maun yang mampu menggerakan sekelompok orang untuk membuat perubahan di lingkungannya. Hal ini juga memberi isyarat bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang menekankan hanya kepada aspek ritual dan melupakan aspek social. Melainkan kesalehan seorang muslim dalam menjalankan ibadah ritual haruslah melahirkan akhlakul karimah dan kepekaan terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam surat Al-Maun ini, orang yang tidak peduli terhadap nasib anak yatim dan orang miskin dikategorikan sebagai pendusta agama. Lalu dalam Al-Quran pun, hampir semua kalimat “wa aqiimush shalaat” dirangkaikan dengan “wa aatuz zakat”. Mendirikan shalat merupakan ibadah yang bersifat  ritual, sedangkan menunaikan zakat merupakan ibadah yang bersifat social. Maka dari itu aspek ritualitas dari ibadah tidak dapat dipisahkan dari aspek sosialnya.

Hari ini kita sudah sepatutnya bersyukur karena sudah banyak lembaga-lembaga Islam yang mendedikasikan diri terhadap pemberdayaan kaum dhuafa. Lembaga tersebut ada yang di bawah ormas Islam, pemerintah dan ada juga yang independen. Mereka bisa dikatakan sebagai manifestasi dari perintah Allah dalam surat Al-Maun ini. Lembaga tersebut harus mempunyai rencana strategis untuk mengeluarkan masyarakat dari jurang kemiskinan. Bukan hanya sekedar kegiatan seremonial seperti baksos, dan khitanan masal, melainkan harus membuat blue-print bagaimana menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat tersebut. Jika hal tersebut berhasil, maka Islam sebagai rahmat bagi alam semesta tidak hanya menjadi slogan namun sudah terwujud dalam realita.

Pemberdayaan masyarakat melalui pemberantasan kemiskinan juga menjadi sarana dakwah Islam yang cukup efektif karena dapat menarik simpati masyarakat yang menjadi objek dakwah. Bayangkan apabila ada seseorang yang berceramah agama di kalangan kaum dhuafa, namun dia tidak pernah sedikitpun memberi apa yang dibutuhkan masyarakat itu, cepat atau lambat pasti dia akan ditinggalkan jamaahnya. Lain halnya kalau ahli agama memberi apa yang dibutuhkan masyarakat sebelum berdakwah, Insya Allah dia akan diterima oleh masyarakat itu.

Kadar keIslaman seseorang juga dapat diukur dari keberpihakan dia terhadap kaum dhuafa. Ingat, dalam surat ‘Abasa, Nabi Muhammad saw. pernah ditegur oleh Allah karena bermuka masam terhadap seseorang yang buta yang ingin meminta pengajarannya, sementara beliau lebih mementingkan bangsawan quraisy. Hal tersebut patut menjadi isyarat bagi kita agar jangan sampai melupakan orang-orang yang tidak lebih beruntung dari kita.

Dalam ayat lain, Allah swt berfirman:”Dan kami telah menunjukan kepadanya dua jalan, maka dia menempuh ‘aqabah, tahukah kamu apakah ‘aqabah itu? Yaitu membebaskan dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat, dan kepada orang miskin yang sangat kekurangan.” (QS. Al Balad : 10-16) Ayat ini mengisyaratkan betapa Allah swt. mengapresiasi orang-orang yang mengabdikan hidupnya dalam mengurus dan meringankan penderitaan kaum dhuafa. Mengurus kaum dhuafa oleh ayat tadi digambarkan sebagai ‘aqabah, yakni jalan yang mendaki lagi sukar. Tentu orang cenderung tidak mau menempuh jalan mendaki lagi sukar ini. Namun di baliknya, Allah swt. menjanjikan bahwa orang-orang tersebut termasuk ashaabul maymanah. Yakni golongan kanan, golongan yang mendapat kitab amal perbuatan dengan tangan kanan dan dijanjikan keridhaan Allah swt.

Ada 2 kata kunci dalam ayat di atas yang bisa menjadi model pembebasan serta pemberdayaan kaum dhuafa di zaman ini. Yang pertama, fakku raqabah artinya membebaskan dari perbudakan. Saat ayat ini turun, masyarakat masih menganggap wajar adanya perbudakan. Budak adalah seseorang yang tidak punya kebebasan untuk menentukan sendiri hidupnya karena dikuasai oleh majikannya. Dia dapat diperjual belikan seperti halnya barang. Islam menghendaki bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah khalifah dan hamba Allah di muka bumi. Karena manusia hanya dibenarkan menghamba kepada Allah swt, maka penghambaan terhadap sesame manusia tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu Islam menghendaki system perbudakan ini dihapus. Namun dikarenakan perbudakan ini sudah menjadi budaya yang mengakar, maka syariat penghapusannya pun secara bertahap. Salah satunya adalah dengan apresiasi yang sangat tinggi dari Allah swt. terhadap orang-orang yang membebaskan seorang budak dari perbudakan.

Lantas, bagaimana dengan zaman modern ini? Apakah benar-benar tidak ada lagi perbudakan? Memang perbudakan seperti zaman Nabi Muhammad saw. sudah tidak ada. Setelah Hak Asasi Manusia dideklarasikan, maka semua mengakui bahwa seseorang terlahir merdeka tidak di bawah kuasa manusia manapun. Namun di zaman modern ini kita dapat menjumpai perbudakan dalam bentuk yang baru, yakni eksploitasi kaum pemilik modal terhadap kaum buruh. Kita bisa lihat beberapa abad yang lalu saat Indonesia dijajah oleh Belanda melalui perusahaan dagang VOC, rakyat Indonesia adalah budak-budak dari para kapitalis VOC. Sekarang pun ada saja perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi para pekerjanya, namun tidak semua. Lantas apa hanya buruh saja? Tentu tidak, petani dan nelayan pun sering menjadi objek eksploitasi. Nah, fakku raqabah dalam konteks modern ini adalah advokasi dan pendampingan terhadap orang-orang yang rentan mengalami eksploitasi ini.

Term yang kedua adalah Ith’amun fii yaumin dzii masghabah”, memberi makan pada hari kelaparan. Hal ini sudah cukup jelas merupakan landasan Islam dalam menumbuhkan semangat filantropi di kalangan umatnya. Filantropi adalah perihal berbagi pada sesame. Dalam Islam sudah ada instrument zakat dan sedekah dalam mewujudkan filantropi ini. Namun hari ini, filantropi dalam bentuk berbagi an sich tidaklah memadai. Namun filantropi pun harus diiringi dengan semangat memandirikan kaum fakir dan miskin ini. Caranya adalah dengan melakukan pemberdayaan terhadap kaum fakir miskin. Filantropi dalam bentuk zakat, atau kurban membagi-bagikan bahan makanan untuk dikonsumsi orang miskin. maka bentuk filantropi yang juga harus dikembangkan misalnya dengan memberi modal usaha, atau memberi pelatihan keterampilan. Inilah bentuk filantropi tingkat lanjut yang bisa meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.

No comments:

Post a Comment