Oleh :K.H. S. Ibnu Juraimi (alm)
Ayat 21 dari Surat Al-Ahzab yang sangat terkenal (“laqod kana lakum fi Rasu-lullahi uswatun hasanah, liman kana yarjullaha wal yaumal-akhira wadzaka-rallaha katsira”) ini sering dipotong oleh para pencera-mah/ muballigh, dalam menerangkannya dicu-kupkan hanya sampai pada “uswatun hasanah”, sehingga maknanya menjadi kurang berbobot, sebab dua kalimat yang terpadu dalam satu ayat ini adalah satu rangkaian yang mestinya diung-kap secara utuh. Memang maksudnya pence-ramah mengungkap sampai uswatun khasanah itu untuk menampilkan bahkan menonjolkan Nabi Muhammad Saw. sudah cukup baik. Namun, karena terpotong lalu menjadi agak pincang. Orang mungkin kagum dengan ketela-danan beliau, tetapi nampaknya belum ada upaya bagaimana kemudian bisa meneladani beliau. Ayat “liman kana yarjullah” dan seterus-nya itu memberi makna yang dalam bahwa keteladanan uswah khasanah Nabi itu “liman”. “Li” yang kita kenal sebagai harfuj-jar itu bermakna adamul khasr. Uswah khasanah teladan Nabi itu hanya untuk orang yang mengharap ridhanya Allah dan hari kemudian, ditandai dengan banyaknya ingat kepada Allah. Artinya, orang yang memang berniat untuk meneladani beliau adalah orang yang mendam-bakan ridhanya Allah. Nonsens orang menela-dani Nabi tidak mendapati yang namanya ridhanya Allah. Ungkapan mengharap ridhanya Allah ini penting sekali sebab terutama orang zaman sekarang dalam meneladani orang itu biasanya dalam hal-hal yang pragmatis. Disinilah kita bisa menangkap isyarat mengapa perlu diungkap secara utuh. Hanya orang yang mengharap ridha Allah yang siap meneladani uswah khasanah Rasulullah Saw.
Dalam sepak terjang perilaku orang, nam-paknya tidak kelihatan upaya untuk mene-ladani beliau itu kemudian bisa diduga siapa yang dicari, yang dituju dan dimaksud dengan sema-ngat kiprah perjuangannya katakanlah, khusus-nya, dalam Muhammadiyah.
Dalam bentuk operasional kita melihat satu keteladanan yang bagus sekali ketika Nabi merasakan betapa beratnya tantangan dakwah di Mekah yang kemudian beliau alihkan sasaran-nya ke Thaif, yang biasa disebut dengan Hijrah Dakwah yang pertama. Setelah sekian lama hanya menangani dakwah di Mekah, beliau ber-niat menuju ke Thaif, dengan didampingi oleh Zaid bin Tsabit selaku sahabat dan anak angkat hadiah perkawinannya dengan Hadijah. Namun, rupanya niat keberangkatan beliau tercium oleh Abu Jahal. Abu Jahal segera mengontak pendu-duk Thaif tentang berita kedatangan Muham-mad. Begitu sampai di Thaif di sana telah siap sejumlah ‘preman’ dan ‘anak-anak jalanan’ dengan batu lemparan dan alat pemukul. Nabi belum sempat menyeru kepada umat di Thaif, sambutan yang didapatkan adalah lemparan batu. Walaupun Zaid mencoba melindungi tubuh Nabi dengan badannya agar tidak terkena lemparan, tetapi karena banyaknya lemparan dari sejumlah preman itu Nabi menga-lami luka berdarah. Berdua kemudian mereka meninggal-kan kota Thaif.
Di perjalanan pulang itu mereka ditemui Malaikat Jibril. Kita tahu Malaikat Jibril itu tidak pernah punya keinginan, maka ia tidak bisa marah. Namun, kali itu nampaknya Jibril ada kelainan. Melihat Muhammad dianiaya sebegitu rupa oleh penduduk Thaif, Jibril mena-warkan kepada Muhammad sekiranya beliau menghendaki, dua gunung yang mengapit kota Thaif akan dipertemukannya untuk melumatkan penduduk Thaif. Tetapi, menarik sekali jawaban Nabi, “Jangan, Aku berharap generasi mudanya yang akan menerima Islam”. Kalimat ini penting kaitannya dengan masalah keteladanan.
Di lembaga amal usaha Muhammadiyah, terutama di bidang pendidikan, cukup dipahami, misalnya di UMM, UMS atau di mana saja termasuk di UM Makassar, dari sekian puluh mahasiswa, walaupun saya tidak pernah masuk ke kampus UM Makassar, saya berani me-ngatakan bahwa yang menjadi mahasiswa di sana 90 persen lebih bukan anaknya orang Muhammadiyah. Sebab anaknya Hasyim Muza-di pun ada di UM Malang. Di UMS atau UMY saya melihat betul, karena dulu pernah ada Mahasiswa UMY yang dipesantrenkan selama satu minggu secara bertahap sebanyak 10 angkatan, kebetulan saya menjadi pengisi tetap, itu 90 persen lebih shalatnya memakai ushalli dan ‘tidak ushalli’. Maksudnya, ‘tidak ushalli’ itu tidak shalat. Jadi karena itu jangan heran kalau anak-anak PRD itu kemudian ada di kampus-kampus Muhammadiyah.
Kembali ke ungkapan Rasulullah “Aku berharap kepada generasi mudanya yang akan menrrima Islam”, bahwa 90 persen mahasiswa PTM yang bukan anak Muhammadiyah itu, merah hijau agamanya dapat dikatakan berada di tangan Muhammadiyah. Silahkan orang tuanya tetap “dhalal”, tetapi hijau dan merahnya mahasiswa itu di tangan kita. Kalau mereka masuk di UMM dan PTM-PTM yang lain itu shalatnya memakai “ushalli” kemudian setelah tamat shalatnya masih memakai ‘ushalli’ berarti telah gagal pendidikan Muhammadiyah. Ini yang saya maksud mengapa kita perlu mencer-mati masalah keteladanan. Sebab, darimana lagi kita mengharapkan penerus kalau tidak dari sini. Setiap tahun 40 ribu sarjana diwisuda oleh PTM. Maaf, kalau kemudian saya bertanya: “Dari 40 ribu itu berapa yang menjadi Mujahid Dakwah Muhammadiyah?” Hal ini merupakan masalah yang cukup serius. Selama 5 sampai 6 tahun mereka di tangan kita, mau diapakan mereka selama itu. Pertanyaan ini merupakan pengantar untuk menuju upaya kita meneladani.
No comments:
Post a Comment