Trilogi Fiqih Muhammadiyah ( session 3 )
Tahun 2012 lalu dalam Grup Face Book “Muhammadiyah Rukun NU” ada seorang warganya yang menuliskan status yang intinya bahwa Muhammadiyah sekarang berlainan dengan Muhammadiyah dulu. Sang perancang status memimpikan Muhammadiyah yang tidak berubah. Dia tunjukan bahwa dulu Muhammadiyah tunaikan shalat tarawih 23 dan lakukan qunut saat shalat shubuh. Saking bersemangatnya sang penulis status menyebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan pernah mengimami shalat tarawih 23 rakaat di Masjid Syuhada. Padahal Masjid Syuhada didirikan tahun 1950 sementara Kyai Dahlan sudah wafat tahun 1923. Sebab yang sama pula yang membuat warga Muhammadiyah di beberapa tempat sekitar Djogja resah karena apa yang mereka praktekkan selama ini tidak sama dengan apa yang pernah dilakukan Kyai Dahlan.
Opini singkat ini hendak menjelaskan bahwa sejak KH Ahmad Dahlan hingga saat ini Muhammadiyah berada dalam satu garis gerak yang sama yaitu gerak tajdid. Tajdidlah yang menjadi buhul gerakan Muhammadiyah sejak KH Ahmad Dahlan hingga sekarang.
Kyai Dahlan yang Memulai Menebar “virus” Tajdid
Sudah sering diuraikan bahwa kata tajdid bagi Muhammadiyah merujuk pada dua pengertian sekaligus. Pertama tajdid bermakna dinamisasi. Kedua, tajdid bermakna purifikasi, pemurnian. Ketika Kyai Dahlan mengoreksi arah kiblat Masjid Gedhe, Kyai sedang lakukan tajdid dalam dua pengertiannya sekaligus. Al-Qur’an dan Hadis mengajarkan bahwa arah wadag shalat kaum Muslimin mesti menuju ke kiblat Baitullah. Untuk mengaplikasikan ajaran Islam itu Kyai gunakan pengetahuan “baru’ yang jarang digunakan oleh ummat Islam saat itu.
Demikianlah Kyai Dahlan memproduksi temuan-temuan tajdid lainnya. Didirikannya organisasi Perempuan bernama Aisyiyah, Hizbul Wathan, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem. Bersamaan dengan itu Kyai pun lakukan purifikasi praktek ummat Islam kala. Sebagaimana ditegaskan salah satu muridnya bernama KRH, Hadjid (2008) bahwa Kyai berhasil menghilangkan praktek-praktek umat yang tidak diajarkan al-Quran as-Sunah. Kyai memberantas selamatan waktu seorang ibu mengandung tujuh bulan, bacaan mauludan dengan memukul rebana ketika membaca “asyaraqal badru”, shadaqah bernama surtanah saat orang meninggal, selamatan tiga hari, baca tahlil tiap malam ketika orang meninggal sampai 7 hari, selamatan 40 hari, 100 hari, setahun, seribu hari (nyewu), serta bacaan tahlil 70.000 untuk menebus untuk menebus dosa, haul (ulang tahun kematian) dengan membaca tahlil, perayaan 10 asyura dan mengadakan padusan (mandi) serta pergi ke kuburan untuk kirim doa, upacara nishfu sya’ban dengan bacaan-bacaan yang tidak diajarkan as-Sunah, taqlid kepada ulama tanpa tahu dalil-dalilnya, bacaan-bacaan tahlil Qur’an untuk dihadiahkan kepada ahli kubur, mengadakan ziarah kubur pada bulan sya’ban, membaca shalawat khusus tiap malam jum’at dengan gunakan rebana, jimat yang dipakaikan kepada anak-anak, minta keselamatan kepada kuburan dan tawassul kepada Nabi saw.
Disamping praktek-praktek tersebut diatas, KHR Hadjid pun menyebutkan bahwa Kyai Dahlan mengoreksi praktek ummat kala itu yang terbiasa tunaikan shalat qabliyah dua raka’at sebelum shalat jum’at serta adzan dua kali sebelum shalat jum’at (Hadjid, 2008:101).
Majelis Tarjih Muhammadiyah Ambil-alih peran Tajdid
Kenyataan bahwa Kyai Dahlan masih tunaikan sahalat tarawih 23 rakaat serta tunaikan qunut dalam shalat shubuh sama sekali tidak mengurangi virus tajdid yang ditebarnya. Boleh jadi Kyai belum melihat alasan-alasan yang dipandangnya lebih kuat sebagaimana koreksinya untuk shalat dua rakaat sebelum shalat jum’at dan adzan jumat dua kali. Sepeninggal Kyai Dahlan Muhammadiyah terus berkembang ke berbagai daerah dengan penambahan anggota-anggotanya. Bersamaan dengan itu timbul pedebatan di kalangan warga Persyarikatan mana diantara praktek ibadah yang dilakukan ummat yang lebih mendekatai kebenaran, disertai adanya beberapa faham gerakan yang menyusupi Muhammadiyah. Dalam konteks historis seperti itulah Majelis Tarjih Muhammadiyah didirikan pada tahun 1927. Sejak saat itulah peran tajdid yang disemaikan Kyai Dahlan diambil alih oleh Majelis Tarjih yang ketua pertamanya KH Mas Mansur. Sejak saat itu Majelis Tarjih menghasilkan sekian produk hukum yang pada awalnya lebih banyak gunakan spirirt tajdid dalam makna purifikasi. Salah satu produk hukum itu adalah tuntunan shalat malam di bulan ramadlan yang lebih dikenal dengan shalat tarawih yang berjumlah 11 raka’at serta tuntunan untuk tidak tunaikan qunut pada shalat shubuh.
Demikianlah hingga saat ini Majelis Tarjih telah menghasilkan sekian banyak produk putusan serta fatwa yang umumnya dirujuk sebagai tuntunan warga Muhammadiyah serta kaum Muslimin yang bersimpati pada Muhammadiyah. Dari sekian putusan itu ada yang terhimpun dalam sebuh kitab yang lebih dikenal dengan Himpunan Putusan Tarjih dan lebih banyak lagi yang berupa tuntunan yang bersifat tematis yang ditulis dalam satu buku tersendiri seperti al-Amwal fil Islam, Tuntunan Keluarga Sakinah, Tuntunan Adabul Mar’ah fil Islam, Bayi tabung dan Transpantasi, Nikah antar Agama, Hukum Aborsi, Koperasi Simpan Pinjam, Hukum Zakat Profesi dan lain sebaganya. Dalam Munas Tarjih ke 27 yang dilaksanakan di Malang tahun 2010 dihasilkan sekian draf putusan dianatarnya adalah Tuntunan Fiqih al-Ma’un dan Tuntunan Fiqih Perempuan.
Tentang Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Tidak sedikit yang salah faham tentang kata tarjih yang digunakan oleh Majelis Tarjih. Dalam Muhammadiyah, tarjih tidak hanya dimknai sebagai sekedar kegiatan memilih suatu pendapat yang dipandang lebih kuat. Tarjih dalam Muhammadiyah mempunyai makna yang lebih luas. Sehingga kata tarjih dalam Muhammadiyah identik dengan kata ijtihad itu sendiri. Dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai: (1) “setiap aktifitas intelektual untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari sudut pandang norma-norma syariah.” (2) Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam (Syamsul Anwar, 2010). Dalam kegiatan bertarjih itu para ulama Tarjih gunakan prosedur dan tahap fikir yang disebut sebagai Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Prosedur ini menghimpun unsur-unsur yang meliputi wawasan, semangat, sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode). Dengan demikian Manhaj Tarjih dapat dikatakan sebagai sebagai “kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang syariah tidak sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur teknis an sich, melainkan juga dilandasi oleh semangat pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah...” (Syamsul Anwar, 2010).
Manhaj Tarjih dari tahun ke tahun mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada masa-masa awal, Majelis Tajih menghasilkan proruk hukumnya lebih banyak memanfaatkan pendekatan tarjih. Ia itu mencari dalil yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang ada. Dalam perkembangan lebih lanjut Majelis Tarjih gunakan berbagai pendekatan yang kemudian diklasifikasikan sebagai model ijtihad bayani, qiyasi serta istishlahi. Model ini pun kemudian diperkaya lagi dengan model ijtihad bayani, burhani serta ‘irfani. Aplikasi model-model ijtihad ini dapat diperkaya dengan berbagai temuan keilmuan modern terkait sosiologi, antropologi dan lain sebagainya yang sejalan dengan nafas Islam.
Memperhatikan perjalanan Majelis Tarjih serta produk hukum yang dihasilkannya, tidak menutup kemungkinan Manhaj Tarjih ini akan terus berkembang. Mengantisipasi hal sedemikian, Majelis Tarjih telah membuat semacam ancangan untuk pengembangan manhajnya dengan meletakkan prinisp-priinsip pengembangannya pada tiga ranah yaitu: (1) al-muraa’at (konservasi) artinya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan persoalan kehidupan. Ini dilakukan dengan upaya furifikasi atau pemurnian ajaran Islam. Prinsip ini dipraktekkan pada bidang akidah dan ibadah; (2) at-tahdits (modernisasi) artinya upaya pelaksanaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual ummat sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Ini dilakukan dengan melakukan reaktualisasi, reinterpretasi dan revitalisasi ajaran Islam; (3) al-ibtikar (kreasi), penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti persoalan kekinian. Ini dilakukan dengan menemukan dan menerima nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan nilai Islam melalui seleksi yang ketat dan komprehensif (2000).
Menarik untuk dituliskan bahwa seringkali praktek ijtihad para ulama Muhammadiyah lebih mendahului prosedur manhaj tarjih Muhammadiyah. Model ijtihad irfani diputuskan tahun 2000 di Jakarta sementara produk hukum yang bernuansa irfani sudah dihasilkan ulama muhammadiyah jauh beberapa tahun sebelumnya. Misalnya, fatwa Tarjih tentang hukum piligami. Para ulama Muhammadiyah mengakui adanya nas-nas al-Qur’an berkaitan dengan poligami. Namun demikian merekapun menegaskan bahwa dalam berkeluarga ada berbagai kewajiban yang mesti ditunaikan oleh suami. Karena itu difatwakan bahwa meskipun ada kebolehan untuk lakukan poligami, tetapi memperhatikan berbagai kewajiban yang tidak mudah ditunaikan itu kepada suami dituntunkan untuk mempertimbangkan kembali pilihannya untuk lakukan poligami (1992).
Asa untuk Tajdid Majelis Tarjih yang Tawassuth
Mengikuti perjalanan waktu saat ini sering terdengar dua tuduhan yang dialamatkan kepada Majelis Tarjih. Pertama tuduhan liberal, kedua tudingan terlalu ke kanan. Tuduhan kanan, antara lain dengan merujukan pada fatwa Tarjih tentang keharaman rokok yang dihasilkan pada awal tahun 2010. Tentu saja cap kanan kepada Majelis Tarjih itu tidak tepat. Itu tidak saja karena hanya menggunakan satu misal untuk melabeli Majelis Tarjih lebih dari itu cap kanan dengan alasan keharaman rokok sama sekali tidak berdasar. Pembacaan secara seksama terhadap manhaj tarjih yang digunakan dalam menghasilkan fatwa keharaman rokok, memperlihatkan bahwa Majelis Tarjih sangat teliti dalam menrancang produk hukum. Majelis tidak menghendaki persoalan rokok diselesaikan dengan hanya merakit alasan-alasan ushuliyah belaka. Lebih dari itu Majelis menghendaki masalah hukum rokok mesti dituntaskan dengan pendekatan yang komprehensif. Disini Majelis gunakan dua model ijtihad bayani dan burhani secara sekaligus. Ijtihad bayani ditunjukkan dengan perujukan nash-nash al-Qur’an dan Hadis secara komprehensif. Sedangkan ijtihad burhani ditunjukan oleh penggunaan ilmu kedokteran dan ilmu ekonomi serta keilmuan aktivis yang mengkonfirmasi kebenaran dalil-dalil nash. Sementara memperhatikan tujuan fatwa ini diketahui bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah hendak mengajak warga Muhammadiyah khususnya dan ummat Islam pada umumnya untuk hidup bersih dari berbagai hal yang dapat melemahkan jiwa dan raga sedemikian rupa sehingga berpotensi untuk melemahkan generasi yang dicitakan nusa bangsa dan agama.
Boleh jadi belum banyak yang mengetahui bahwa pada tahun yang sama Majelis Tarjih menghasilkan dua draf putusan Fiqih al-Ma’un serta Fiqih Perempuan. Dua rancangan putusan tersebut sama sekali jauh dari ciri-ciri kanan. Yang pertama mengusung spirit inklusivisme Islam yang menjadi “tenda” untuk semua yang diajarkan agama ini. Sedangkan yang kedua membawa pesan Islam yang ramah terhadap perempuan. Dua hal yang justru menjadi musuh “ajaran” mazhab kanan.
Adalah jadi harapan dari semua warga Persyarikatan kepada Majelis Tarjih Muhammadiyah untuk tetap mengusung gerak tajdid Muhammadiyah dengan menghasilkan berbagai produk tuntunan yang berkemajuan. Semoga.
Wallahu A’lam bish-Shawab.
Wawan Gunawan Abdul Wahid
Alumni Angkatan Pertama PP Darul Arqam Muhammadiyah Garut Jabar (1978-1984)
Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Trilogi Fiqih Muhammadiyah
session 1 : Fiqih Ahmad Dahlan dan Majelis Tarjih
session 3 : -
No comments:
Post a Comment