Tujuannya terdengar mulia, mengubah yang “biadab” menjadi yang “beradab.” Sejatinya, inilah awal mula dari sebuah hegemoni fisik dan kultural yang lazim ditengarai sebagai proyek imperialisme dan kolonialisme barat terhadap bangsa bangsa timur. Lebih dari itu, didalamnya ikut mendompleng misi penyebaran agama Kristen bagi penduduk penduduk pribumi. Spirit Perang Salib yang berlangsung selama hampir 200 tahun ikut memompa ekspansi mereka.
Hasil perjanjian Tordesillas yang dilaksanakan pada 4 Mei 1493 menghasilkan diktum antara lain membagi dunia “baru” untuk dikuasai oleh Portugis dan Spanyol. Perjanjian ini mendapat restu langsung dari penguasa tahta suci Vatikan yang sedang berkuasa pada waktu itu, Paus Alexander VI.
Lewat perjanjian ini Paus memberikan salah satu syarat yakni raja atau negara harus memajukan misi Katolik Roma di daerah daerah yang telah diserahkan pada mereka. Protugis dan Spanyol diserahi tanggung jawab untuk mengubah penduduk pribumi menjadi pemeluk Katolik.
Pun, begitu ketika Belanda mulai menjelajahi wilayah nusantara via ekspedisi dagang, yang selanjutnya tumbuh VOC dan bersalin rupa menjadi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kalau Portugis membawa ajaran Katolik Roma, maka Belanda dengan langkah awal yang malu malu menyiarkan zending Protestan sekte Calvinis.
Setelah kepergian Portugis, Belanda menjadi penguasa nusantara, dengan Jawa sebagai basis. Di samping mengeksploitasi rempah rempah untuk dijadikan komoditas perdagangan, misi penyebaran Kristen juga menjadi agenda lain walaupun masih dilakukan dengan hati hati. Makanya, pada zaman VOC penyebaran Kristen bisa dikatakan kurang berhasil. Komunitas Kristen hanya terdapat di beberapa kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Itu pun terbatas dari orang orang Maluku yang banyak menjadi serdadu dan diperbantukan pada kawasan militer di Pulau Jawa.
Ada beberapa faktor sebetulnya yang menjadi alasan ketidakberhasilan penyebaran Kristen di zaman VOC, khususnya di Jawa, diantaranya adalah VOC menghindari sebisa mungkin benturan dengan orang orang Islam untuk mengamankan kepentingan dagang mereka. Selain itu adalah luasnya Pulau Jawa, masih kuatnya pengaruh Islam, dan sedikitnya tenaga yang ulet dalam menyebarkan Kristen pada orang orang pribumi. Di sisi lain, Belanda masih enggan menggelontorkan dana yang cukup buat kegiatan zending.
Di beberapa tempat, sejumlah individu aktif menyebarkan Kristen kepada orang orang pribumi seperti Johannes Emde di Surabaya, C. L. Coolen di Ngoro. Nyonya Philips dan Nyonya Oostrom Philips di Purworejo dan Banyumas. Ada F. L. Anthing di Jawa Barat. Tak ketinggalan tokoh tokoh Kristen awal dari kalangan pribumi seperti Paulus Tosari, Ibrahim Tunggul Wulung, dan Kyai Sadrach.
Tengahan abad ke-19, program Kristenisasi di Jawa mulai berlangsung secara intensif. Lembaga misionaris berdatangan dari Eropa, tanpa ragu mereka masuk ke desa desa. Subsidi dari pemerintah digelontorkan. Gereja Protestan maupun Katolik mulai banyak dibangun. Walaupun begitu, hasilnya belum memuaskan. Islam masih mendapat tempat. Pada masa itu, akan dianggap aneh jika seorang pribumi keluar dari Islam. Islam identik dengan kebangsaan. Fromberg bahkan menyatakan bahwa, “Islam bukan saja soal keyakinan bagi orang Jawa, melainkan juga suatu urusan kebangsaan.”
Diberlakukannya politik etis di awal abad ke-20 secara tak langsung mengubah kebijakan misi Kristenisasi di Jawa. Kegiatan pengabaran Injil tak lagi dilakukan dengan frontal seperti ajakan langsung, melainkan dibalut lewat pendirian lembaga lembaga kesehatan seperti rumah sakit, panti yatim piatu, sekolah dan kegiatan kegiatan sosial lainnya.
Kristenisasi yang dilakukan lewat pendidikan misalnya, berhasil mengkonversi sejumlah pribumi muslim. Salah satunya lewat sekolah kader yang didirikan oleh Frans Van Lith di Muntilan, bernama Kolese Xaverius. Anak anak lelaki yang masuk ke sekolah ini pada awalnya semuanya muslim, tetapi lulus telah menjadi Katolik, tak jarang sebagian dari mereka bahkan studi lanjut untuk menjadi imam.
Strategi lain Kristenisasi pada masa politik etis diantaranya adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Hal hal yang identik dengan Islam mesti dijauhkan, baik dalam teori terlebih lebih dalam praktek. Untuk itulah di Kolese Xaverius Muntilan, Bahasa Melayu yang identik dengan Islam penggunaannya dihindari sejauh mungkin. Dan strategi ini cukup berhasil seperti dikatakan oleh Karel Steenbrink, “Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana imam pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”
Misi pengabaran Injil yang semakin terbuka memunculkan respon balik dari kalangan umat Islam yang merasa resah akan Kristenisasi di tanah Jawa. Oraganisasi yang paling lantang dalam membendung arus Kristenisasi adalah Muhammadiyah, bentukan K.H Ahmad Dahlan di tahun 1912. Dibanding organisasi organisasi lain semisal Sarekat Islam, Persatuan Islam, dan Nahdlatul Ulama, peran Muhammadiyah amat menonjol dalam menghadang misi Kristenisasi.
Dengan mengadopsi cara cara kolonial, Muhammadiyah melakukan kontra aksi dengan banyak mendirikan sekolah sekolah, panti asuhan, klinik, dan rumah sakit dalam rangka membendung arus Kristenisasi, walaupun di awal pendiriannya banyak yang menyebut organisasi bentukan Kyai Dahlan ini sebagai yang “menyimpang” dari keumuman orang orang Islam pada waktu itu. Bahkan, K. H. Ahmad Dahlan sendiri ikut terjun langsung dalam menghadapi gerakan Kristenisasi ini dengan cara melakukan diskusi diskusi dengan pastur dan pendeta.
Buku yang diangkat dari tesis penulisnya di program magister pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta ini memberikan sumbangan berharga ihwal penyebaran Kristenisasi dengan mendompleng kekuasaan kolonial Belanda.
Judul Buku : Mengkristenkan Jawa, Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda Terhadap Penetrasi Misi Kristen
Penulis : Muhammad Isa Anshory
Penerbit : Pustaka Lir Ilir
Cetakan : Pertama, 2013
Halaman : x + 192 halaman
Berdirinya Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Salah satu faktor yang melatarbelakangi pendirian organisasi ini adalah adanya penetrasi misi Kristen yang berkembang pesat pada masa politik etis. Hal ini berawal ketika para penguasa keraton Yogyakarta, atas desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan penginjilan terhadap masyarakat Jawa. Sejak saat itu, Jawa, wilayah konsentrasi kebanyakan kaum Muslim, terbuka bagi kegiatan misionaris Kristen. Penetrasi Kristen yang lebih dalam lagi terjadi mulai 1850-an ke wilayah Jawa Tengah, yang menjadi dorongan kuat bagi lahirnya pendalaman kesadaran kaum Muslim untuk melawan kegiatan-kegiatan misi ini.
Menghadapi tantangan demikian, Muhammadiyah giat melakukan tabligh, merapikan dan mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi ini, bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur dan pendeta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran Islam dan kemampuan umatnya dalam mempertahankan agamanya. Selama masa Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menghindari konfrontasi langsung dengan misi Kristen. Dalam pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah sesuatu yang tidak efektif dan strategis. Baginya, yang lebih penting dari itu adalah membangkitkan kesadaran kaum Muslim mengenai akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi tersebut. Oleh sebab itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Dengan berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen.
Muhammadiyah juga aktif menentang politik Kristenisasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Usaha untuk menjalankan prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan, seperti “Surat Edaran Mingguan” dan “Surat Edaran Pasar” yang melarang segala kegiatan resmi pada hari Minggu, menimbulkan kegelisahan penduduk yang tidak mengenal nilai atau prinsip itu dalam lingkungan budayanya. Sudah barang tentu hal ini mendapat oposisi dari umat Islam yang dipelopori oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian melancarkan kontra-aksi yang berupa pendirian lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah-sekolah, klinik, dan panti asuhan.
Sebagaimana telah diketahui, pemerintah kolonial Belanda beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis membuka semakin banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa. Anak laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang priyayi mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah tidak ada. Dalam beberapa kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke sekolah oleh orang tua menyebabkan pendidikan agama mereka terabaikan. Orang tua yang berasal dari lingkungan yang taat dan mengharapkan anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang harus memilih satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke sekolah swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode modern.
Bagi Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para pemimpin Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi Kristen banyak dijadikan contoh. Pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, dan panti asuhan oleh Muhammadiyah banyak mengadopsi cara dari misi Kristen. Perawatan fakir miskin dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah dilakukan secara tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif perseorangan. Malah pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada kesediaan orang-orang Islam sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya mendapat tempat perlindungan pada keluarga berada. Sebuah keluarga Muslim secara tradisi ingin memelihara anak-anak yatim tersebut karena kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi mereka. Oleh sebab itu, pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan mengatur rumah khusus bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan klinik kesehatan.
Sebuah kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh Muhammadiyah adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dibentuk pada 1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan guna membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa, pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama serta latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan mereka pada tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Di bawah pemimpinnya yang kedua, K.H. Ibrahim (1923-1927), kebijakan eksternal Muhammadiyah banyak dipengaruhi sekretarisnya yang masih muda, H. Fachruddin, yang pada saat bersamaan menjadi anggota komisi eksekutif Sarekat Islam yang lebih aktif di bidang politik. Masa ini mungkin merupakan tahap paling dramatis jika dilihat dalam kerangka perjumpaan Muhammadiyah dengan misi Kristen. Sejak itu, Muhammadiyah menjadi lebih bersikap bermusuhan terhadap misi Kristen yang dianggap tidak bersahabat dengan Islam. Dengan diilhami oleh watak agresif Fachruddin, Muhammadiyah menjadi semakin bersikap tegas dan militan dalam kritik terbukanya terhadap misi Kristen.
Pada 1925 Fachruddin atas nama Muhammadiyah melancarkan protes menentang perlakuan istimewa terhadap misi Protestan oleh Sultan Yogyakarta dan Residen Belanda L.F. Dingemans. Residen itu berhasil membujuk sultan untuk memangkas subsidi bagi panti asuhan Muhammadiyah guna memberi subsidi baru untuk panti asuhan kesultanan, yang dipercayakan kepada Yayasan Petronella Protestan. Ketika Muhammadiyah mengajukan keluhan kepada sultan, residen menuduh organisasi ini melakukan pengkhianatan.
Kegiatan misi Kristen pada dasawarsa terakhir pemerintahan kolonial Belanda telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, walaupun belum merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap menjadi benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang zending dan misi mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim. Dihadapkan pada sikap ini dan karena menganggap Islamisasi superfisial terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia, banyak misionaris Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan tentang Islam dan umat Islam. Pada 1931 Jan Ten Berge, seorang pastor Jesuit di Muntilan Jawa Tengah, menerbitkan dua artikel tentang Al Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad dalam jurnal Studiën yang dipublikasikan di Belanda. Dalam artikel ini, Ten Berge dengan terang-terangan menyerang rasa keagamaan kaum Muslim. Dia menyimpulkan bahwa Al Qur’an adalah “konfirmasi dan interpretasi terhadap sejarah ajaran Bibel.” Jika direduksi, menurut Ten Berge, “yang tersisa hanya koleksi dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalah-pahami.”
Artikel tersebut memicu kemarahan kaum Muslim dan semakin menyebarkan sikap antipati mereka terhadap kalangan Kristen. Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Partai Sarekat Islam memimpin serangan balik terhadap artikel-artikel anti-Islam Ten Berge itu. Akibatnya, pertemuan massa untuk melakukan protes diadakan di sejumlah kota, yang diorganisasikan oleh organisasi-organisasi Islam tersebut.
Aksi protes lain berkaitan dengan Kristenisasi dilakukan Muhammadiyah dan umat Islam lainnya pada 1939. Setelah konferensi zending sedunia di Tambaran Madras India pada Desember 1938, pihak Kristen menyuarakan tuntutan untuk menghapus artikel 177 Indische Staatsregeling (I.S.). Artikel tersebut menyatakan, “Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya jika akan melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda. Jika ternyata izin tersebut merugikan atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditepati, maka izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.” Tuntutan ini bermula dari pidato Professor J. M. J. Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta di depan Indische Genootschap (Perkumpulan Hindia) di Den Haag. Dia berkata bahwa artikel tersebut telah tidak sesuai dengan zaman, tidak perlu terdapat ketakutan terhadap fanatisme kalangan Islam di Indonesia mengenai masuknya misionaris dan pendeta secara bebas, dan artikel itu merupakan suatu ketidakadilan terhadap pihak agama Kristen, sedangkan pemerintah, demikian katanya, sebagai suatu badan yang netral terhadap agama sebenarnya tidak berwenang untuk menyelesaikan masalah seperti ini.
Rapat menolak penghapusan artikel 177 I.S. dilakukan umat Islam di beberapa daerah, di antaranya adalah keputusan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Kudus, rapat umum Partai Islam Indonesia, Kongres Al-Islam Indonesia ke-2 yang dianjurkan MIAI, Kongres NU, dan rapat protes umum terhadap pencabutan artikel itu oleh kombinasi 11 perkumpulan Islam di Yogyakarta. Kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 20 April 1939 di Cirebon juga membahas masalah tuntutan penghapusan artikel 177 I.S.
Demikianlah respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi pada masa politik etis. Hal ini menunjukkan betapa gigih dan konsisten para pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu sudah selayaknya dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Mengingat Kristenisasi tetap menjadi salah satu tantangan dakwah terbesar bagi umat Islam di negeri ini, kita semestinya berusaha mewarisi semangat dan konsistensi para pendahulu tersebut. K.H. Ahmad Dahlan pernah memperingatkan, “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?” Semoga menjadi renungan. [abi/ret]
- See more at: http://tabligh.or.id/2012/respon-muhammadiyah-terhadap-kristenisasi/#sthash.X2kUbtRa.dpuf
Menghadapi tantangan demikian, Muhammadiyah giat melakukan tabligh, merapikan dan mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi ini, bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur dan pendeta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran Islam dan kemampuan umatnya dalam mempertahankan agamanya. Selama masa Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menghindari konfrontasi langsung dengan misi Kristen. Dalam pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah sesuatu yang tidak efektif dan strategis. Baginya, yang lebih penting dari itu adalah membangkitkan kesadaran kaum Muslim mengenai akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi tersebut. Oleh sebab itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Dengan berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen.
Muhammadiyah juga aktif menentang politik Kristenisasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Usaha untuk menjalankan prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan, seperti “Surat Edaran Mingguan” dan “Surat Edaran Pasar” yang melarang segala kegiatan resmi pada hari Minggu, menimbulkan kegelisahan penduduk yang tidak mengenal nilai atau prinsip itu dalam lingkungan budayanya. Sudah barang tentu hal ini mendapat oposisi dari umat Islam yang dipelopori oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian melancarkan kontra-aksi yang berupa pendirian lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah-sekolah, klinik, dan panti asuhan.
Sebagaimana telah diketahui, pemerintah kolonial Belanda beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis membuka semakin banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa. Anak laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang priyayi mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah tidak ada. Dalam beberapa kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke sekolah oleh orang tua menyebabkan pendidikan agama mereka terabaikan. Orang tua yang berasal dari lingkungan yang taat dan mengharapkan anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang harus memilih satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke sekolah swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode modern.
Bagi Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para pemimpin Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi Kristen banyak dijadikan contoh. Pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, dan panti asuhan oleh Muhammadiyah banyak mengadopsi cara dari misi Kristen. Perawatan fakir miskin dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah dilakukan secara tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif perseorangan. Malah pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada kesediaan orang-orang Islam sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya mendapat tempat perlindungan pada keluarga berada. Sebuah keluarga Muslim secara tradisi ingin memelihara anak-anak yatim tersebut karena kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi mereka. Oleh sebab itu, pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan mengatur rumah khusus bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan klinik kesehatan.
Sebuah kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh Muhammadiyah adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dibentuk pada 1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan guna membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa, pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama serta latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan mereka pada tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Di bawah pemimpinnya yang kedua, K.H. Ibrahim (1923-1927), kebijakan eksternal Muhammadiyah banyak dipengaruhi sekretarisnya yang masih muda, H. Fachruddin, yang pada saat bersamaan menjadi anggota komisi eksekutif Sarekat Islam yang lebih aktif di bidang politik. Masa ini mungkin merupakan tahap paling dramatis jika dilihat dalam kerangka perjumpaan Muhammadiyah dengan misi Kristen. Sejak itu, Muhammadiyah menjadi lebih bersikap bermusuhan terhadap misi Kristen yang dianggap tidak bersahabat dengan Islam. Dengan diilhami oleh watak agresif Fachruddin, Muhammadiyah menjadi semakin bersikap tegas dan militan dalam kritik terbukanya terhadap misi Kristen.
Pada 1925 Fachruddin atas nama Muhammadiyah melancarkan protes menentang perlakuan istimewa terhadap misi Protestan oleh Sultan Yogyakarta dan Residen Belanda L.F. Dingemans. Residen itu berhasil membujuk sultan untuk memangkas subsidi bagi panti asuhan Muhammadiyah guna memberi subsidi baru untuk panti asuhan kesultanan, yang dipercayakan kepada Yayasan Petronella Protestan. Ketika Muhammadiyah mengajukan keluhan kepada sultan, residen menuduh organisasi ini melakukan pengkhianatan.
Kegiatan misi Kristen pada dasawarsa terakhir pemerintahan kolonial Belanda telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, walaupun belum merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap menjadi benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang zending dan misi mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim. Dihadapkan pada sikap ini dan karena menganggap Islamisasi superfisial terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia, banyak misionaris Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan tentang Islam dan umat Islam. Pada 1931 Jan Ten Berge, seorang pastor Jesuit di Muntilan Jawa Tengah, menerbitkan dua artikel tentang Al Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad dalam jurnal Studiën yang dipublikasikan di Belanda. Dalam artikel ini, Ten Berge dengan terang-terangan menyerang rasa keagamaan kaum Muslim. Dia menyimpulkan bahwa Al Qur’an adalah “konfirmasi dan interpretasi terhadap sejarah ajaran Bibel.” Jika direduksi, menurut Ten Berge, “yang tersisa hanya koleksi dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalah-pahami.”
Artikel tersebut memicu kemarahan kaum Muslim dan semakin menyebarkan sikap antipati mereka terhadap kalangan Kristen. Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Partai Sarekat Islam memimpin serangan balik terhadap artikel-artikel anti-Islam Ten Berge itu. Akibatnya, pertemuan massa untuk melakukan protes diadakan di sejumlah kota, yang diorganisasikan oleh organisasi-organisasi Islam tersebut.
Aksi protes lain berkaitan dengan Kristenisasi dilakukan Muhammadiyah dan umat Islam lainnya pada 1939. Setelah konferensi zending sedunia di Tambaran Madras India pada Desember 1938, pihak Kristen menyuarakan tuntutan untuk menghapus artikel 177 Indische Staatsregeling (I.S.). Artikel tersebut menyatakan, “Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya jika akan melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda. Jika ternyata izin tersebut merugikan atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditepati, maka izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.” Tuntutan ini bermula dari pidato Professor J. M. J. Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta di depan Indische Genootschap (Perkumpulan Hindia) di Den Haag. Dia berkata bahwa artikel tersebut telah tidak sesuai dengan zaman, tidak perlu terdapat ketakutan terhadap fanatisme kalangan Islam di Indonesia mengenai masuknya misionaris dan pendeta secara bebas, dan artikel itu merupakan suatu ketidakadilan terhadap pihak agama Kristen, sedangkan pemerintah, demikian katanya, sebagai suatu badan yang netral terhadap agama sebenarnya tidak berwenang untuk menyelesaikan masalah seperti ini.
Rapat menolak penghapusan artikel 177 I.S. dilakukan umat Islam di beberapa daerah, di antaranya adalah keputusan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Kudus, rapat umum Partai Islam Indonesia, Kongres Al-Islam Indonesia ke-2 yang dianjurkan MIAI, Kongres NU, dan rapat protes umum terhadap pencabutan artikel itu oleh kombinasi 11 perkumpulan Islam di Yogyakarta. Kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 20 April 1939 di Cirebon juga membahas masalah tuntutan penghapusan artikel 177 I.S.
Demikianlah respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi pada masa politik etis. Hal ini menunjukkan betapa gigih dan konsisten para pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu sudah selayaknya dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Mengingat Kristenisasi tetap menjadi salah satu tantangan dakwah terbesar bagi umat Islam di negeri ini, kita semestinya berusaha mewarisi semangat dan konsistensi para pendahulu tersebut. K.H. Ahmad Dahlan pernah memperingatkan, “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?” Semoga menjadi renungan. [abi/ret]
- See more at: http://tabligh.or.id/2012/respon-muhammadiyah-terhadap-kristenisasi/#sthash.X2kUbtRa.dpuf
Berdirinya Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Salah satu faktor yang melatarbelakangi pendirian organisasi ini adalah adanya penetrasi misi Kristen yang berkembang pesat pada masa politik etis. Hal ini berawal ketika para penguasa keraton Yogyakarta, atas desakan pemerintah kolonial Belanda, menyetujui pencabutan larangan penginjilan terhadap masyarakat Jawa. Sejak saat itu, Jawa, wilayah konsentrasi kebanyakan kaum Muslim, terbuka bagi kegiatan misionaris Kristen. Penetrasi Kristen yang lebih dalam lagi terjadi mulai 1850-an ke wilayah Jawa Tengah, yang menjadi dorongan kuat bagi lahirnya pendalaman kesadaran kaum Muslim untuk melawan kegiatan-kegiatan misi ini.
Menghadapi tantangan demikian, Muhammadiyah giat melakukan tabligh, merapikan dan mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi ini, bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur dan pendeta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran Islam dan kemampuan umatnya dalam mempertahankan agamanya. Selama masa Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menghindari konfrontasi langsung dengan misi Kristen. Dalam pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah sesuatu yang tidak efektif dan strategis. Baginya, yang lebih penting dari itu adalah membangkitkan kesadaran kaum Muslim mengenai akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi tersebut. Oleh sebab itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Dengan berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen.
Muhammadiyah juga aktif menentang politik Kristenisasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Usaha untuk menjalankan prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan, seperti “Surat Edaran Mingguan” dan “Surat Edaran Pasar” yang melarang segala kegiatan resmi pada hari Minggu, menimbulkan kegelisahan penduduk yang tidak mengenal nilai atau prinsip itu dalam lingkungan budayanya. Sudah barang tentu hal ini mendapat oposisi dari umat Islam yang dipelopori oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian melancarkan kontra-aksi yang berupa pendirian lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah-sekolah, klinik, dan panti asuhan.
Sebagaimana telah diketahui, pemerintah kolonial Belanda beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis membuka semakin banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa. Anak laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang priyayi mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah tidak ada. Dalam beberapa kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke sekolah oleh orang tua menyebabkan pendidikan agama mereka terabaikan. Orang tua yang berasal dari lingkungan yang taat dan mengharapkan anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang harus memilih satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke sekolah swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode modern.
Bagi Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para pemimpin Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi Kristen banyak dijadikan contoh. Pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, dan panti asuhan oleh Muhammadiyah banyak mengadopsi cara dari misi Kristen. Perawatan fakir miskin dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah dilakukan secara tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif perseorangan. Malah pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada kesediaan orang-orang Islam sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya mendapat tempat perlindungan pada keluarga berada. Sebuah keluarga Muslim secara tradisi ingin memelihara anak-anak yatim tersebut karena kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi mereka. Oleh sebab itu, pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan mengatur rumah khusus bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan klinik kesehatan.
Sebuah kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh Muhammadiyah adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dibentuk pada 1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan guna membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa, pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama serta latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan mereka pada tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Di bawah pemimpinnya yang kedua, K.H. Ibrahim (1923-1927), kebijakan eksternal Muhammadiyah banyak dipengaruhi sekretarisnya yang masih muda, H. Fachruddin, yang pada saat bersamaan menjadi anggota komisi eksekutif Sarekat Islam yang lebih aktif di bidang politik. Masa ini mungkin merupakan tahap paling dramatis jika dilihat dalam kerangka perjumpaan Muhammadiyah dengan misi Kristen. Sejak itu, Muhammadiyah menjadi lebih bersikap bermusuhan terhadap misi Kristen yang dianggap tidak bersahabat dengan Islam. Dengan diilhami oleh watak agresif Fachruddin, Muhammadiyah menjadi semakin bersikap tegas dan militan dalam kritik terbukanya terhadap misi Kristen.
Pada 1925 Fachruddin atas nama Muhammadiyah melancarkan protes menentang perlakuan istimewa terhadap misi Protestan oleh Sultan Yogyakarta dan Residen Belanda L.F. Dingemans. Residen itu berhasil membujuk sultan untuk memangkas subsidi bagi panti asuhan Muhammadiyah guna memberi subsidi baru untuk panti asuhan kesultanan, yang dipercayakan kepada Yayasan Petronella Protestan. Ketika Muhammadiyah mengajukan keluhan kepada sultan, residen menuduh organisasi ini melakukan pengkhianatan.
Kegiatan misi Kristen pada dasawarsa terakhir pemerintahan kolonial Belanda telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, walaupun belum merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap menjadi benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang zending dan misi mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim. Dihadapkan pada sikap ini dan karena menganggap Islamisasi superfisial terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia, banyak misionaris Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan tentang Islam dan umat Islam. Pada 1931 Jan Ten Berge, seorang pastor Jesuit di Muntilan Jawa Tengah, menerbitkan dua artikel tentang Al Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad dalam jurnal Studiën yang dipublikasikan di Belanda. Dalam artikel ini, Ten Berge dengan terang-terangan menyerang rasa keagamaan kaum Muslim. Dia menyimpulkan bahwa Al Qur’an adalah “konfirmasi dan interpretasi terhadap sejarah ajaran Bibel.” Jika direduksi, menurut Ten Berge, “yang tersisa hanya koleksi dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalah-pahami.”
Artikel tersebut memicu kemarahan kaum Muslim dan semakin menyebarkan sikap antipati mereka terhadap kalangan Kristen. Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Partai Sarekat Islam memimpin serangan balik terhadap artikel-artikel anti-Islam Ten Berge itu. Akibatnya, pertemuan massa untuk melakukan protes diadakan di sejumlah kota, yang diorganisasikan oleh organisasi-organisasi Islam tersebut.
Aksi protes lain berkaitan dengan Kristenisasi dilakukan Muhammadiyah dan umat Islam lainnya pada 1939. Setelah konferensi zending sedunia di Tambaran Madras India pada Desember 1938, pihak Kristen menyuarakan tuntutan untuk menghapus artikel 177 Indische Staatsregeling (I.S.). Artikel tersebut menyatakan, “Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya jika akan melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda. Jika ternyata izin tersebut merugikan atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditepati, maka izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.” Tuntutan ini bermula dari pidato Professor J. M. J. Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta di depan Indische Genootschap (Perkumpulan Hindia) di Den Haag. Dia berkata bahwa artikel tersebut telah tidak sesuai dengan zaman, tidak perlu terdapat ketakutan terhadap fanatisme kalangan Islam di Indonesia mengenai masuknya misionaris dan pendeta secara bebas, dan artikel itu merupakan suatu ketidakadilan terhadap pihak agama Kristen, sedangkan pemerintah, demikian katanya, sebagai suatu badan yang netral terhadap agama sebenarnya tidak berwenang untuk menyelesaikan masalah seperti ini.
Rapat menolak penghapusan artikel 177 I.S. dilakukan umat Islam di beberapa daerah, di antaranya adalah keputusan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Kudus, rapat umum Partai Islam Indonesia, Kongres Al-Islam Indonesia ke-2 yang dianjurkan MIAI, Kongres NU, dan rapat protes umum terhadap pencabutan artikel itu oleh kombinasi 11 perkumpulan Islam di Yogyakarta. Kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 20 April 1939 di Cirebon juga membahas masalah tuntutan penghapusan artikel 177 I.S.
Demikianlah respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi pada masa politik etis. Hal ini menunjukkan betapa gigih dan konsisten para pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu sudah selayaknya dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Mengingat Kristenisasi tetap menjadi salah satu tantangan dakwah terbesar bagi umat Islam di negeri ini, kita semestinya berusaha mewarisi semangat dan konsistensi para pendahulu tersebut. K.H. Ahmad Dahlan pernah memperingatkan, “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?” Semoga menjadi renungan. [abi/ret]
- See more at: http://tabligh.or.id/2012/respon-muhammadiyah-terhadap-kristenisasi/#sthash.X2kUbtRa.dpuf
Menghadapi tantangan demikian, Muhammadiyah giat melakukan tabligh, merapikan dan mempermodern caranya. K.H. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi ini, bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi dengan pastur dan pendeta. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebenaran Islam dan kemampuan umatnya dalam mempertahankan agamanya. Selama masa Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menghindari konfrontasi langsung dengan misi Kristen. Dalam pandangannya, menantang dan melawan peran aktif mereka dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi langsung adalah sesuatu yang tidak efektif dan strategis. Baginya, yang lebih penting dari itu adalah membangkitkan kesadaran kaum Muslim mengenai akibat-akibat yang akan muncul dari kegiatan misi tersebut. Oleh sebab itu, membangun infrastruktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Dengan berbuat demikian, Ahmad Dahlan bermaksud menjadikan kaum Muslim mampu menghadapi peningkatan pengaruh misi Kristen.
Muhammadiyah juga aktif menentang politik Kristenisasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia Belanda. Usaha untuk menjalankan prinsip-prinsip Kristen dan pemerintahan, seperti “Surat Edaran Mingguan” dan “Surat Edaran Pasar” yang melarang segala kegiatan resmi pada hari Minggu, menimbulkan kegelisahan penduduk yang tidak mengenal nilai atau prinsip itu dalam lingkungan budayanya. Sudah barang tentu hal ini mendapat oposisi dari umat Islam yang dipelopori oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini kemudian melancarkan kontra-aksi yang berupa pendirian lembaga-lembaga sosial, seperti sekolah-sekolah, klinik, dan panti asuhan.
Sebagaimana telah diketahui, pemerintah kolonial Belanda beserta lembaga zending dan misi pada masa politik etis membuka semakin banyak sekolah-sekolah Barat. Didirikannya sekolah-sekolah tersebut mengakibatkan perubahan yang besar dalam pendidikan agama di Pulau Jawa. Anak laki-laki dan wanita yang setiap hari berada di bangku sekolah tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pesantren. Adat lama, bahwa seorang priyayi mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren, sekarang sudah tidak ada. Dalam beberapa kalangan masyarakat, pengiriman anak-anak ke sekolah oleh orang tua menyebabkan pendidikan agama mereka terabaikan. Orang tua yang berasal dari lingkungan yang taat dan mengharapkan anak-anaknya juga mempunyai pengetahuan agama sekarang harus memilih satu di antara dua kemungkinan, yaitu mengirimkan anaknya ke sekolah swasta yang juga diberi pelajaran agama atau memberi pelajaran agama khusus di luar jam sekolah. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah menjadi solusi pilihan karena menggabungkan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode modern.
Bagi Muhammadiyah, Kristenisasi bukan saja dianggap sebagai suatu tantangan, tetapi juga merupakan suatu contoh bagi para pemimpin Muslim. Cara-cara yang dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan misi Kristen banyak dijadikan contoh. Pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, klinik, dan panti asuhan oleh Muhammadiyah banyak mengadopsi cara dari misi Kristen. Perawatan fakir miskin dan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan dan sebagainya, mungkin telah dilakukan secara tradisi, tetapi ini semata-mata terletak pada inisiatif perseorangan. Malah pengumpulan zakat pun bergantung semata-mata pada kesediaan orang-orang Islam sendiri. Anak-anak yatim pada umumnya mendapat tempat perlindungan pada keluarga berada. Sebuah keluarga Muslim secara tradisi ingin memelihara anak-anak yatim tersebut karena kepercayaan bahwa ini akan membawa berkah bagi mereka. Oleh sebab itu, pengaturan anak yatim dengan menyediakan rumah dan mengatur rumah khusus bagi mereka adalah suatu inovasi, demikian pula halnya dengan klinik kesehatan.
Sebuah kegiatan lain misi Kristen yang dijadikan contoh oleh Muhammadiyah adalah gerakan kepanduan. Gerakan kepanduan Muhammadiyah, Hizbul Wathan, dibentuk pada 1918 oleh Ahmad Dahlan setelah memperoleh keterangan tentang persoalan kepanduan ini dari seorang guru Muhammadiyah yang mengajar di Solo. Guru ini melihat latihan-latihan kepanduan misi Kristen di alun-alun Mangkunegaran. Mengakui manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti ini, Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu untuk mengambil keputusan guna membentuk Hizbul Wathan. Di samping latihan kepanduan yang biasa, pandu-pandu Muhammadiyah itu diberikan juga pelajaran-pelajaran agama serta latihan dalam berorganisasi pada umumnya untuk mempersiapkan mereka pada tuntutan yang diperlukan apabila mereka dewasa nanti dan bergabung dengan organisasi Muhammadiyah.
Di bawah pemimpinnya yang kedua, K.H. Ibrahim (1923-1927), kebijakan eksternal Muhammadiyah banyak dipengaruhi sekretarisnya yang masih muda, H. Fachruddin, yang pada saat bersamaan menjadi anggota komisi eksekutif Sarekat Islam yang lebih aktif di bidang politik. Masa ini mungkin merupakan tahap paling dramatis jika dilihat dalam kerangka perjumpaan Muhammadiyah dengan misi Kristen. Sejak itu, Muhammadiyah menjadi lebih bersikap bermusuhan terhadap misi Kristen yang dianggap tidak bersahabat dengan Islam. Dengan diilhami oleh watak agresif Fachruddin, Muhammadiyah menjadi semakin bersikap tegas dan militan dalam kritik terbukanya terhadap misi Kristen.
Pada 1925 Fachruddin atas nama Muhammadiyah melancarkan protes menentang perlakuan istimewa terhadap misi Protestan oleh Sultan Yogyakarta dan Residen Belanda L.F. Dingemans. Residen itu berhasil membujuk sultan untuk memangkas subsidi bagi panti asuhan Muhammadiyah guna memberi subsidi baru untuk panti asuhan kesultanan, yang dipercayakan kepada Yayasan Petronella Protestan. Ketika Muhammadiyah mengajukan keluhan kepada sultan, residen menuduh organisasi ini melakukan pengkhianatan.
Kegiatan misi Kristen pada dasawarsa terakhir pemerintahan kolonial Belanda telah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, walaupun belum merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap menjadi benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang zending dan misi mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim. Dihadapkan pada sikap ini dan karena menganggap Islamisasi superfisial terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia, banyak misionaris Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan tentang Islam dan umat Islam. Pada 1931 Jan Ten Berge, seorang pastor Jesuit di Muntilan Jawa Tengah, menerbitkan dua artikel tentang Al Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad dalam jurnal Studiën yang dipublikasikan di Belanda. Dalam artikel ini, Ten Berge dengan terang-terangan menyerang rasa keagamaan kaum Muslim. Dia menyimpulkan bahwa Al Qur’an adalah “konfirmasi dan interpretasi terhadap sejarah ajaran Bibel.” Jika direduksi, menurut Ten Berge, “yang tersisa hanya koleksi dongeng-dongeng, cerita buatan, dan cerita-cerita yang disalah-pahami.”
Artikel tersebut memicu kemarahan kaum Muslim dan semakin menyebarkan sikap antipati mereka terhadap kalangan Kristen. Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Partai Sarekat Islam memimpin serangan balik terhadap artikel-artikel anti-Islam Ten Berge itu. Akibatnya, pertemuan massa untuk melakukan protes diadakan di sejumlah kota, yang diorganisasikan oleh organisasi-organisasi Islam tersebut.
Aksi protes lain berkaitan dengan Kristenisasi dilakukan Muhammadiyah dan umat Islam lainnya pada 1939. Setelah konferensi zending sedunia di Tambaran Madras India pada Desember 1938, pihak Kristen menyuarakan tuntutan untuk menghapus artikel 177 Indische Staatsregeling (I.S.). Artikel tersebut menyatakan, “Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya jika akan melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda. Jika ternyata izin tersebut merugikan atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditepati, maka izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.” Tuntutan ini bermula dari pidato Professor J. M. J. Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta di depan Indische Genootschap (Perkumpulan Hindia) di Den Haag. Dia berkata bahwa artikel tersebut telah tidak sesuai dengan zaman, tidak perlu terdapat ketakutan terhadap fanatisme kalangan Islam di Indonesia mengenai masuknya misionaris dan pendeta secara bebas, dan artikel itu merupakan suatu ketidakadilan terhadap pihak agama Kristen, sedangkan pemerintah, demikian katanya, sebagai suatu badan yang netral terhadap agama sebenarnya tidak berwenang untuk menyelesaikan masalah seperti ini.
Rapat menolak penghapusan artikel 177 I.S. dilakukan umat Islam di beberapa daerah, di antaranya adalah keputusan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Kudus, rapat umum Partai Islam Indonesia, Kongres Al-Islam Indonesia ke-2 yang dianjurkan MIAI, Kongres NU, dan rapat protes umum terhadap pencabutan artikel itu oleh kombinasi 11 perkumpulan Islam di Yogyakarta. Kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 20 April 1939 di Cirebon juga membahas masalah tuntutan penghapusan artikel 177 I.S.
Demikianlah respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi pada masa politik etis. Hal ini menunjukkan betapa gigih dan konsisten para pendahulu kita memperjuangkan Islam. Sikap seperti itu sudah selayaknya dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya. Mengingat Kristenisasi tetap menjadi salah satu tantangan dakwah terbesar bagi umat Islam di negeri ini, kita semestinya berusaha mewarisi semangat dan konsistensi para pendahulu tersebut. K.H. Ahmad Dahlan pernah memperingatkan, “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?” Semoga menjadi renungan. [abi/ret]
- See more at: http://tabligh.or.id/2012/respon-muhammadiyah-terhadap-kristenisasi/#sthash.X2kUbtRa.dpuf
No comments:
Post a Comment