Saturday, May 31, 2014

Perempuan Menurut AI-Qur'an Menurut Buku AI-Mar 'ah Al-Muslimah Baina Tahrir Al-Quran Wa Taqyid Al-Fuqaha

Memperjuangkan hak-hak perempuan sama haknya dengan memperjuangkan nilai-nilai AI-Qur'an itu sendiri, lantaran AI-Qur'an sejatinya adalah Kitab Suci yang mengangkat derajat wanita sarna seperti laki-Iaki, dalam hak dan kewajiban. Pada prinsipnya AI-Qur'an melawan segala bentuk ketidakadilan, eksploitasi ekonomi, penindasan .politik, dominasi budaya, dominasi jender dan segala bentuk ketidakseimbangan lainnya.

Dalam membicarakan masalah relasi laki-Iaki dan perempuan, AI-Qur'an menempatkan prinsip kemitrasejajaran maupun kesetaraan sebagai basis epistemologinya, bahkan dalam beberapa ayat yang ada di dalamnya menegaskan kesetaraan tersebut (Yunahar lIyas, 2006: 2). Kesetaraan yang paling tinggi dijelaskan oleh AI-Qur'an adalah memasukkan segala permasalahan perempuan dalam bingkai keimanan sebagai landasan filosofis teologis. Jadi perempuan dan laki-Iaki secara prinsip mempunyai kedudukan keimanan di hadapan Allah secara egaliter (sederajat). Hal ini ditegaskan Allah secara langsung dalam AI¬Qur'an surat At-Taubah ayat 71:

Dan orang-orang yang beriman, laki-Iaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-NYA. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

Kemudian perempuan dan laki-Iaki diciptakan dari dua jenis yang berbeda dan mempunyai derajat yang sama di hadapan Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam surat AI-Hujarat ayat 13:
Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-Iaki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti

Salah satu hal yang menghambat kesetaraan antara laki-Iaki dan perempuan adalah pandangan para fuqaha klasik. Meskipun AI-Qur'an membebaskan perempuan dari belenggu diskriminasi, akan tetapi fiqih klasik justru mereduksi nilai-nilai Qur'an itu sendiri. Fiqih sejatinya adalah sebuah hasil dialektika antara mujtahid dan realitas yang bersandarkan pada prinsip-prinsip universal yang dibawa AI-Qur'an dan Sunnah Nabi. Jadi fiqih sangat berbeda dengan wahyu yang sakral, lantaran dari segi estimologinya fiqih adalah pemahaman. Menurut Jasser Auda (2008), fiqih adalah hasil pemahaman manusia dan refleksi (hasil ijtihad) terhadap teks teks yang menjadi rujukan sumber hukum Islam. Fiqih menurut Auda adalah proses mental kognitif dan pemahaman manusia. Pemahaman manusia tersebut mungkin benar dan mungkin salah. Pemisahan antara teks (AI-Qur'an dan Sunnah) terhadap pemahaman seseorang terhadap teks adalah suatu keniscayaan.

Adanya perlakuan diskriminasi terhadap perempuan bukan tanpa didasari alasan. Sebagai contoh dalam masalah hak ijbar atau hak memaksa anak gadis untuk menikah. Rata-rata fuqaha klasik membolehkan seorang wali menikahkan anak gadis secara paksa. Perdebatan seputar masalah kawin paksa (ijbar) ini hanya berkaitan dengan wanita, karena pada kenyataanya para ahli fiqih klasik sepakat bahwa laki-Iaki tidak boleh dikawinkan tanpa seizinnya. Padahal suatu pernikahan itu berdasarkan atas asas persetujuan kedua mempelai.

Dalam masalah kepemimpinan hampir dipastikan dalam berbagai Iiteratur fiqih klasik, para ulama juga sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin, termasuk dalam wilayah kehakiman. Para fuqaha seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa syarat untuk menjadi hakim adalah laki-Iaki.Dalil normatif yang digunakan oleh mayoritas ahli fiqih adalah AI-Qur'an surat An-Nisa [4]:34 Kaum laki-Iaki itu adalah pemimpin. bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (Iaki-Iaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (Iaki-Iaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Para ahli tafsir mengartikan qiwamah dalam ayat di atas sebagai "pemimpin, pelindung, pengatur urusan" dan makna semisalnya. Ayat tersebut banyak ditafsirkan para ahli fiqih kJasik bahwa laki-Iaki mempunyai superioritas atas perempuan. Hal tersebut pada akhirnya memunculkan stigma bias gender karena mayoritas ahli fiqih klasik adalah laki-Iaki.Jamal al-Banna (selanjutnya disingkat Jamal) adalah salah satu pemikir produktif asal Mesir yang rasional, human is, egaliter, feminis, bahkan liberal. Bersama Qasim Amin, Jamal juga dikenal sebagai tokoh feminis Islam. Dalam permasalahan fiqih, Jamal al-Banna patut untuk dikedepankan. lewat ajakan revivalisnya (da'watu ihya) Jamal ingin mengajak umat untuk bersemangat ke arah pembaruan. Satu hal yang patut ditiru dari Jamal adalah kecenderungan yang kuat ke arah pembaruan dan penolakan terhadap taklid. Bagi Jamal kegelapan adalah penghormatan berlebih terhadap pendahulu dengan mensakralkan ajarannya. Dan realitas serupa terulang kembali pada umat Islam ,sekarang dengan perwajahan yang berbada. Jamal membahasakan, "Islam sejatinya menghendaki manusia, akan tetapi pakar fiqih justru menghendaki Islam" (al-Islam arada al-insan, wa lakinna al-fuqaha' aradu ai-Islam).

Jamal al-Banna dalam bukunya al-Mar'ah al-Muslimah baina Tahrir AI-Qur'an Wa Taqyid Fuqaha (Perempuan Muslimah, antara Pembebasan AJ-Qur'an dan Belenggu Fukaha) ingin merevolusi stigma negatif yang disematkan pada perempuan. Paling tidak lewat karyanya ini ia ingin menjembatani pemahaman ahli fiqih klasik dan nilai-nilai AI-Qur'an. lebih tegasnya lagi, ia ingin mengatakan bahwa AI­Qur'an datang untuk membebaskan perempuan, bukan membatasi sebagaimana dilakukan para ahli fiqih. Epistemologi yang digunakan ahli fiqih klasik kerapkali bertentangan dengan nilai-nilai AI-Qur'an. Hal tersebut diperparah dengan pengamatan Jamal terhadap para pengkaji perempuan kontemporer khususnya orientalis, peneliti dan dosen di universitas. Jika mereka ingin melakukan penelitian perempuan dalam Islam, yang menjadi rujukan utama adalah para ahli fiqih klasik bukan langsung pada sumbernya yaitu AI-Qur'an.

Pemikiran Jamal memang sedikit keluar dari mainstream ulama. Sebagai contoh dalam permasalahan talak. Jamal berpendapat bahwa talak dapat terjadi apabila pasangan suami istri saling ridla terhadap keputusan. Jamal juga mengatakan bahwa keputusan talak ada di tangan suami terlalu otoriter. Dalam hal perkawinan Jamal juga mempunyai pendapat yang sangat "berani". la mengkritik pandangan mayoritas ulama fiqih yang memandang pernikahan sebagai akad kepemilikan. Sehingga bermakna perempuan itu adalah milik laki-Iaki. Misalnya al-Jazairi yang mengartikan bahwa nikah adalah akad yang dapat memberikan hak kepada laki-Iaki untuk memanfaatkan tubuh perempuan demi kenikmatan seksualnya. Dari definisi tersebut nampak jelas bahwa pernikahan hanya dimaksudkan sebagai wahana kenikmatan seksual, ataupun pelampiasan nafsu semata sebagai tujuan utama, sehingga akan hilang perkawinan sebagai interaksi memiliki makna kemanusiaan, cinta, mawadah dan rahmah. Selain itu penikmatan seksual tersebut hanya diberikan kepada laki-Iaki, bukan kepada perempuan.

Pernikahan seharusnya juga tidak banyak membebankan suami istri'dengan syarat dan prosedurnya. Menurut Jamal al-Banna, pernikahan tidak harus membutuhkan wali, saksi maupun mahar. Jamal mengkritik para fuqaha yang terlalu mengekang sistem pernikahan menjadi seperti ini. Padahal sejatinya terdapat nash-nash dalam AI-Qur'an yang memerintahkan adanya wali hanya untuk budak hamba sahaya bukan untuk wanita merdeka. Jamal berargumen bahwa keharusan wali adalah untuk budakl hamba sahaya yang tercantum dalam ayatAl-Qur'an suratAn-Nisa ayat 25:

Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu, sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain, karena itu nikahilah mereka dengan izin walinya.

Dari ayat di atas difahami dengan mahfum mukhalafah bahwa jika seo­rang budak mengharuskan wali, maka sejatinya untuk orang yang merdeka tidak mensyaratkan adanya wali.
Metodologi yang digunakan oleh Jamal al-Banna dalam beristimbat tampaknya lebih mengedepankan dominasi AI-Qur'an dari pada Sunnah.

Bahkan dalam buku Nahwa Fiqh Jadid (Menuju Fiqih Baru) ditegaskan untuk memahami fiqih kontemporer sentralitas dan keunggulan akal lebih dikedepankan daripada wahyu. Tidak sedikit ulama yang mengkritik ijtihad progresif Jamal, lantaran telah menerobos sesuatu yang tsawabit (hal-hal yang tetap) dalam agama.(suaramuhammadiyah/SP)

 Royan Utsany, Lc, Staf Pengajar di Madrasah Muallimin dan Stikes Aisyiyah Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment