Sunday, May 18, 2014

Perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi ( bagian 2)


Sekilas tentang Muhammadiyah, Persamaan dan Perbedaannya dengan Wah-habi
Sebagaimana yang sudah diketahui Muhammadiyah adalah sebuah perserikatan Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M. Pendiri pergerakan tersebut adalah Kiai.H.Ahmad Dahlan yang lahir pada 1869 di Yogyakarta dari keluarga ulama. Setelah belajar berbagai ilmu pengetahuan agama di berbagai pondok pesantren di Jawa, pada 1890 ia berangkat ke Mekkah untuk belajar lagi dengan berguru pada Syekh Ahmad Khatib, ulama Indonesia yang terkenal di Mekkah waktu itu. Namun,  sete;ah setahun belajar di sana, ia kembali ke tanah air. Pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah, kemudian menetap di sana selama dua tahun.

Ketika menetap yang kedua kalinya di tanah suci inilah Ahmad Dahlan sempat bertemu dengan Sayid Muhammad Rasyid Ridla, murid Syekh Muhammad Abduh, tokoh pembaharuan Islam di Mesir yang terkenal itu. Sejak saat itu, ia bercita-cita untuk melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam di tanah air (Tim Penulis IAIN Syahid, 2002: 770). Apalagi  kondisi umat Islam pada waktu itu sedang terkebelakang, terpuruk, dan tidak berdaya dalam menghadapi kedijayaan dan keserakahan kolonial Belanda. Ketika berhadapan dengan kebudayaan Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda, di antara mereka bersikap antipati dan menolaknya secara mutlak; dan di antaranya lagi bersikap menerimanya secara mutlak pula. Bahkan, mereka yang  telah menerima kebudayaan Barat tersebut, sudah kehilangan percaya diri dan rasa bangga beragama Islam. Mereka merasa malu kalau masuk ke dalam mesjid atau menunjukkan identitasnya sebagai seorang Muslim.
Realitas tersebut adalah akibat dari lemahnya keimanan dan tercemarnya paham tauhid mereka dengan kemusyrikan, bidah, tskhsyul, dan khurafat, di samping karena ketidaktahuan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Mengingat hal itu, maka setelah  kembali ke tanah air, K.H.Ahmad Dahlan langsung melakukan gerakan pemurnian akidah dan ibadah dengan merujuk kepada Alquran dan al-sunnah dan sekaligus pula melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam secara bertahap dan mandiri di Yogyakarta. Untuk mewujudkan upaya pemurnian dan pembaharuan tersebut, tidak hanya melakukan dakwah bi al-lisān (dengan ucapan), tetapi juga dengan bi al-hāl (dengan perbuatan), seperti mendirikan sekolah-sekolah modern, menyantuni orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Meskipun di satu sisi gerakan yang dilakukan K.H.Ahmad Dahlan tersebut mendapat tantangan dari kalangan masyarakat Muslim yang tradisionalis, di sisi lain mendapat dukungan dari masyarakat Muslim yang lain.

Dukungan tersebut semakin lama, semakin besar sehingga pada tahun 1912 dirasa perlu untuk membentuk dan mendirikan sebuah perserikatan atau organisasi yang dapat mengkoordinasikan semua kegiatan dakwah pemurnian dan pembaharuan tersebut agar dapat mendapatkan hasil yang maksimal. Perserikatan tersebut dinamai Muhammadiyah dan diresmikan berdirinya oleh K.H.Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330H/18 Nopember 1912. Perserikatan Muhammadiyah ini dari tahun ke tahun mengalami kemajuan yang pesat dan memiliki lembaga-lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan universitas yang cukup banyak, rumah-rumah sakit,  lembaga-lembaga keuangan, dan sumber daya manusia (SDM) yang juga berjumlah besar dan dibutuhkan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Ajaran-ajaran Muhammadiyah, baik yang berkenaan dengan akidah maupun fiqh (hukum Islam) merujuk kepada Alquran dan al-sunnah. Di samping itu juga diperlukan ijtihad. Namun, ijtihad melalui qiyas, istisan masalih al-mursalah add al-dzari’ah, bukan merupakan sumber hukum, melainkan metode untuk menggali hukum yang tidak ada nasnya di dalam Alquran dan al-sunnah.

Khusus di bidang akidah, dalam memahaminya dari Alquran dan al-sunnah,  Muhammadiyah menganut metode dan paham Salafiyah. Hal itu telah dinyatakan dalam Himpunan Putusan tarjih. Menurut putusan tersebut, Muhammadiyah menjelaskan pokok-pokok kepercayaan yang benar dengan merujuk kepada kalangan umat terdahulu yang selamat (al-firqat al-nājiyah min al-salaf). Gerakan ini ingin mengembalikan Islam pada ajaran yang murni, yang tidak tercemar oleh tradisi atau ajaran lain dari luar sebagaimana yang berlaku pada zaman Nabi dan generasi salaf yang saleh. Namun, dibanding dengan gerakan Salafiyah yang lain, Muhammadiyah menunjukkan karakter yang moderat sehingga dimasukkan dalam katagore Salafiyah Wāsithiyah, yaitu Salafiyah yang cenderung di tengah-tengah dan moderat dan jauh berbeda dari Salafiyah Muhammad ibn Abd al-Wahhāb dan Rasyid Ridla.(Haedar Nashir, 2007: 15)

Meskipun demikian, ada sebuah buku Kuliah Akidah Islam yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Yunahar Ilyas Lc, tokoh muda dan salah seorang Pimpinan Pusat Muham-madiyah. Buku ini identik dengan buku-buku akidah yang ditulis oleh kalangan Wahha-bi. Kalau tulisan Yunahar ini dapat dianggap sebagai pencerminan paham Muham-madiyah di bidang akidah, berarti tidak ada perbedaannya dengan paham akidah Salafiyyah dan Wahhabi. 

Khusus di bidang fiqh, Muhammadiyah berbeda dengan Wahhabi. Kalau Wahhabi  menolak taklid dan menyerukan ijtihad, tetapi masih menyatakan diri meng-ikuti mazhab Hanbali meskipun tidak fanatik.. Sebaliknya, Muhammadiyah di samping menolak taklid dan menyerukan ijtihad, juga tidak mengikuti mazhab tertentu, baik dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali maupun mazhab lainnya. Namun, warga Muhammadiyah diarahkan untuk mengikuti  keputusan Majelis Tarjih Muham-madiyah dalam hal apa saja. Keputusan itu, kadang-kadang ada yang serasi dengan salah satu dari mazhab yang empat dan kadang-kadang serasi dengan mazhab yang lain.dari mazhab yang empat atau yang di luar dari mazhab-mazhab tersebut. Karena itu, tidaklah mengherankan jika keputusan Majelis Tarjih, ada yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah dan ada pula yang berbeda dan tidak sama. Keputusan Majelis Tarjih yang sama dengan fiqh Wahhabiyyah, antara lain cara berwudlu, salat subuh tidak menyertakan doa qunut, membaca surat al-Fatihah dalam salat, tanpa membaca bismillahirrahmanirrahim dengan nyarring, dan hukum merokok adalah haram. Sebaliknya, keputusan Majelis Tarjih yang berbeda dengan fiqh Wahhabiyyah, antara lain  
(1) Salat tarawih sebanyak delapan rakaat, sedang menurut amaliah Wahhabi sebanyak 20 rakaat.
(2) Salat ‘Id al-Fithri dan  Salat ‘Id al-Adlha dilaksanakan di lapangan, bukan di mesjid, sedang menurut Wahhabiyyah di mesjid..
(3)   Penentuan awal Ramadlan dan awal Syawwal melalui hisab, sedang menurut Wahhabiyyah harus melalui rukyah.
(4)   Zakat fithrah bisa berupa uang, sedang menurut Wahhabiyyah, tidak boleh berupa uang, tetapi harus berupa makanan pokok.
(5)   Zakat boleh diberikan kepada panitia mesjid, sedang menurut Wahhabiyyah tidak boleh diberikan kepada pihak-pihak yang tidak ternasuk asnaf delapan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, dalam melaksanakan dakwah dan amar ma’ruf dan nahi munkar, juga terdapat perbedaan yang mencolok dengan Wahhabi. Kalau Muhammadiyyah dalam melaksanakannya dengan cara yang bijaksana, toleran, dan tidak menimbulkan keributan. Sebaliknya, Wahhabi, terutama pada masa-masa yang telah silam dengan cara kekerasan dan memandang setiap orang yang tidak mengikuti ajaran-ajarannya dipandang sebagai orang yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip amar ma’ruf dan nahi mungkar.

IV  Muhammadiyah tidak Dipengaruh oleh Wahhabi, tetapi dipengaruh oleh Gerakan dan pemikiran Pembaruan yang Diusung oleh Muhammad Abduh dan  Muhammad Rasyid Ridla.
Menurut Dr Shalih ibn Abdullah dan Dr Muhammad Kamil Dlahir dalam buku masing-masing, dakwah dan paham Wahhabi atau pendirinya, Muhammad ibn al-Wahhab  tidak hanya telah mempengaruhi pemikitran umat Islam di jazirah Arab, tetapi juga telah mempengaruhi pemikiran umat Islam di berbagai negara Islam, seperti Yaman, Syam (Siria, Yordania, dan Paletina, Iraq, Maroko, Sudan, Mesir, dan India. Namun, keduanya tidak menyebutkan bahwa dakwah dan paham Wahhabiyyah itu telah juga mempengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. (Shalih ibn Abdillah, 1408: 631-697 dan Muhammad Kāml Dlāhir, 1414/1993: 199-208) Ini menunjukkan bahwa Muhammadiyyah, terutama pendirinya, Kiai H.Ahmad Dahlan, baik paham maupun dakwahnya tidak pernah terpengaruh oleh Wahhabiyyah atau pendirinya. Sebab meskipun pernah belajar dan menetap beberapa tahun di Mekkah, ia tidak pernah belajar dan berguru kepada para ulama dari kalangan Wahhabiyyah dan tidak pula pernah membaca karya-karya tulis mereka. Apalagi apabila dilihat dari aspek pembaruan yang dilakukan oleh Muhammadiyyah, baik di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi, dll, tidak ada hubungan kausal antara keduanya. Karena, di kalangan Wahhabi, terutama pada masa silam tidak pernah dilaksanakan hal tersebut. Mereka hanya terfokus pada pemurnian ajaran agama, khususnya di bidang akidah dan ibadah mahdlah.

Dengan demikian, yang mempengaruhi Muhammadiyyah, bukan gerakan Wah-habi, tetapi gerakan lain. Menurut, Prof. Dr. Harun Nasution, Kiai.H.Ahmad Dahlan dan para pemuka Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh gerakan pembaruan di Mesir yang diusung oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla. Namun, dari segi pemikiran, pemikiran Rasyid Ridla lebih banyak daripada pemikiran gurunya, Muhammad Abduh dalam mem-pengaruhi pemikiran  mereka dan Muhammadiyah. Sebab, Muhammad Abduh lebih liberal daripada Rasyid Ridla. Kalau Abduh lebih cenderung kepada  Mu’tazilah, Rasyid Ridla lebih cenderung kepada Salafiyah. (Harun Nasution, 1415 /1995: 155-156)  Selain itu, Rasyid Ridla sendiri mengklain dirinya bahwa ia hidup dan akan mati mengikuti  Salaf dalam masalah-masalah esotoris, seperti yang berkenaan dengan keimanan kepada Allah, sifat-sifat-Nya, para malaikat-Nya, hari kiamat, surga dan neraka. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 50) . Meskipun demikian, tidak berarti tidak pernah berbeda pendapat dengan pendirian Salafiyah Wahhabi. Misalnya, Kalangan Wahhabi mengatakan haram melaksanakan peringatan maulid Rasulullah SAW. Namun, menurut Rasyid Ridla, tidak ada salahnya, kalau hal itu membawa kebaikan kepada umat, terutama dalam meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Untuk itu, ia telah menulis sebuah buku dengan judul Fī Żikrāal-Maulid al-Nabiy. Dalam majalah al-Manar dan Tafsir al-Manar, terdapat pandangan-panangan dan pembelaannya terhadap paham Salafiyah dan tokoh-tokohnya. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 83-84)  

Kecenderungan Rasyid Ridla kepada Salafiyah, tampak sekali di dalam Tafsir al-Manar ketika membahas dua hal.yang sangat penting. Pertama, pemurnian tauhid dan membersihkan Allah SWT dari hal-hal yang menafikan keesaan-Nya dari berbagai kemusyrikan dan pentakdisan syekh-syekh dan wali-wali-wali tarikat atau meminta pertolongan kepada mereka yang telah meninggal dunia.Kedua, perlunya ijtihad dan pintunya masih terbuka. Disamping itu mencela taklid buta dan menekankan perlunya berpegang teguh pada Alquran, al-Sunnah, dan atsar salaf al-shalih. (Muhammad Abdullah al-Salman, 1345: 69)

.Karena itu, tidaklah berlebihan jika pengaruh itu muncul berkat majalahal-Manar danTafsir al-Manar yang beredar di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia. Di negeri ini, majalah al-Manar telah beredar sejak tahun pertama penerbitannya melalui para pelanggan dan pembacanya. Karena itu, mereka telah menjalin hubungan yang kuat dengan majalah al-Manar melalui sejumlah pertanyaan .yang ditujukan kepada Rasyid Ridla untuk dijawab. Rasyid Ridla kemudian menjawabnya dan mempublikasikannya melalui majalah al-Manar. Keba-nyakan pertanyaan itu seputar masalah yang berkenaan dengan cara memerangi berbagai macam bidah dan khurafat yang telah merebak di kalangan umat Islam Indonesia. Umumnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut berasal dari Jawa dan Sumatera. (Rasyid Ridla, 14091988: 571)

Selain itu, ada pula pertanyaan-pertanyan yang menyangkut masalah kegiatan Kristenisasi di pelosok-peloosok Indonesia oleh para misionaris yang dibantu oleh kolonial Balanda. Karena pertanyaan-pertanyaan itulah yang telah mendorong Rasyid Ridla untuk mendirikan Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyād  di Qairo, sebagai solusi untuk meng-hadapinya melalui para alumninya. Banyak para pelajar dari Indonesia yang mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan tersebut. Setelah mereka menamatkan studinya, mereka kembali ke tanah air mereka dan menjadi pendidik bagi saudara-saudara mereka dan menjadi juru dakwah yang sangat baik.(Rasyid Ridla, 14091988: 572)

Di samping itu, para pengikut dan simpatisan aliran al-Manar  di Indonesia ini telah pula berperan menyebarluaskan paham Salafiyah di sana. Itulah sebabnya banyak orang mengatakan bahwa majalah al-Manar. berperan sekali dalam mengenalkan dan mnyebarluaskan paham Syekh Abd al-Wahhab di Indonesia. (Rasyid Ridla, 14091988: 572)  
Menurut Charles Adams sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad ibn Abdillah al-Salman, di Indonesia pengajian-pengajian terhadap Tafsir al-Manar telah dilaksanakan di kalangan umat Islam. Bahkan, untuk keperluan itu, Tafsir al-Manar pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Nashir Abdul Wahid.sebanyak beberapa juz dengan edisi khusus. Adams juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi Islam telah berperan melakukan usaha semacam itu, khususnya perserikatan Muhammadiyah. (Rasyid Ridla, 14091988: 573) 

Menurut Kiyai Hajid, K.H.Ahmad Dahlan di samping banyak membaca kitab-kitab klasik, juga membaca kitab-kitab kontemporer. Bahkan, dia adalah orang yang paling menonjol mempelajari Tafsir Juz ‘Amma oleh Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, .majalah  al-Manar, dan majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang dikelola Jamalauddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. (Haedar Nashir, 2007: 29)

Begitu antusiasnya Kiai.H.Ahmad Dahlan dalam membaca dan mempelajari Tafsir al-Manar, sedang berada di gerbong kereta api saja sempat membacanya. Diceriterakan bahwa pada sutu hari secara kebetulan Kiai.H.Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati duduk berhadapan di dalam sebuah gerbong kereta api di Jawa, tanpa mengenal satu sama lain. Untuk menghabiskan waktunya Ahmad Dahlan membaca Tafsir al-Manar. Hal itu menarik perhatian Ahmad Surkati yang tidak menduga orang pribumi dapat membaca kitab ilmiah tersebut. Dari situ kemudian, terbukalah percakapan dan kesepakatan antara keduanya untuk bekerjasama menyebarkan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla di masyarakat masing-masing. (A. Mukti Ali, 1411/1990: 18)

V. Penutup
Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak identik dengan Wahhabiyyah, karena di samping ada persamaan antara keduanya, juga ada perbedaan-perbedaannya. Munculnya gerakan pemurnian akidah dan ibadah dari syirik, khurafat, takhayul, dan bid’ah, bukan karena terpengaruh oleh paham dan gerakan Wahhabiyyah, tetapi karena terpengaruh oleh gerakan dan pemikiran pembaharuan yang diusung oleh Muhammad Abduh, khusunya Rasyid Ridla.

Demikian paparan yang dapat disampaikan, salah dan khilaf, mohon maaf, dan terima kasih.

No comments:

Post a Comment