Jakarta - Pemerintah dan umat Islam di Indonesia belum serius dalam memberikan perhatian kepada mualaf. Perhatian yang dimaksud di antaranya serius bertanggung jawab dalam pembinaan sekaligus pendanaan terhadap anggota baru dalam umat Islam tersebut.
Pasalnya selama ini, usai masuk Islam dan menyatakan syahadat, mualaf terkesan dibiarkan kelangsungan hidupnya. Padahal tak jarang mualaf mendadak miskin, dikucilkan dari keluarganya, dan termasuk bagian dari orang tertindas yang wajib ditolong.
“Mualaf juga masih banyak yang tidak mendapatkan zakat muallaf,” kata Humas Departemen Pendidikan dan Pelatihan Himpunan Bina Muallaf Indonesia (HBMI), Kodiran Salim pada Selasa (13/5).
Hal tersebut disebabkan belum adanya penjelasan dan pengarahan dari pemerintah dan umat, terhadap hak-hak mualaf secara teknis, setelah mereka menyatakan diri masuk agama Islam. Ia menerangkan, seharusnya mualaf mendapatkan zakat dalam tiga kategori yaitu hak sebagai mualaf, sebagai orang miskin, dan sebagai budak yang punya hak untuk dibebaskan karena jadi bagian dari orang tertindas.
Namun menurutnya, penyaluran zakat pada mualaf berdasarkan tiga kategori tersebut belum dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Di samping itu, pemerintah dan umat pun tak boleh mengabaikan faktor penting lainnya, yakni para pembina mualaf.
“Mereka seharusnya mendapatkan penyaluran zakat karena fi sabilillah, dan bahkan harusnya digaji,” lanjutnya.
Maka dari itu, keberadaan HBMI sejak 2011 pun bertujuan menghimpun para pembina mualaf yang tersebar tak terdata di seluruh Indonesia. Jika para pembina mualaf ini sudah terdata, kata dia, maka akan mudah pula mendata para mualafnya, serta memonitor kegiatan mereka agar terjamin keberlangsungannya.
HBMI juga berfungsi menjadi fasilitator dan jembatan para pembina mualaf dengan pemerintah maupun Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Namun sampai saat ini, lanjut Kodiran, kegiatan pendataan tidak ada, bahkan penyaluran bantuan zakat untuk mualaf masih sulit.
Jika mengandalkan biaya pribadi, ia belum mampu. Maka itu, ia rutin berkonsultasi dengan pihak pemerintah serta BAZNAS agar keberlangsungan kegiatan pembinaan mualaf berjalan lancar. Dana untuk pembiayaan kegiatan pembinaan dan penyaluran dana untuk mualaf, sejumlah prosedur harus ditempuhnya.
“Karena anggaran untuk kita itu didasarkan dari usulan proyek, berupa proposal, barulah dana cair,” katanya.
Selain itu, pendanaan juga diperlukan untuk membina para pembina mualaf. Para pembina yang tersebar di seluruh tanah air juga harus diberi pembekalan pengetahuan lintas agama, juga pengetahuan sosiokultural. Tujuannya agar pesan Islam bisa tersampaikan kepada muallaf. Sehingga para akhirnya, muallaf akan mempelajari agama Islam dengan menyenangkan, bahka semakin memperkuat keimanannya tersebut.
Ia juga menilai, selama ini perhatian pemerintah dan ummat masih minim terhadap muallaf. “Sedikit sekali tokoh yang mau memerharikan para muallaf, gak ada data yang jelas tentang muallaf, dan kita tidak tahu harus bertanya kepada siapa, jika ingin memonitor jumlah dan tindaklanjut muallaf pasca syahadat,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan Kodiran, Kepala Seksi Pembinaan Ketenagaan Lembaga Dakwah dan Majlis Taklim M Faiz Fayadl mengakui, pihaknya tak dapat banyak membantu dalam hal pendanaan. Sebab, tanggung jawab soal penyaluran zakat untuk mualaf serta pembinanya berada dalam tanggung jawab BAZNAS. Sementara pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator. [sp/rol]
No comments:
Post a Comment