ZAKAT memang hebat. Ia mampu memberi resonansi dalam aspek pemberdayaan masyarakat, sekaligus memberi kekuatan magnetis untuk menarik berbagai kekuatan partikel umat sehingga jumlah muzaki kian bertambah. Kekuatan resonansi dimaknakan sebagai efek kemaslahatan yang diberikan instrumen zakat, karena terbukti secara historis dan empiris memicu redistribusi aset demi keadilan dan pemerataan. Kekuatan magnetis dimaknakan, sebagai kemampuan instrumen zakat mengakumulasi aset, yang dipicu oleh kekuatan eskatologis yang berdimensi ibadah, sebagai panggilan Allah yang terekspresi dalam rukun Islam.
Tulisan ini, lebih menengok spektrum resonansi, karena sesungguhnya jika zakat dioptimalkan dan diefektifkan, maka satu persoalan penting masalah kemiskinan akan tereduksi. Karena itu, ada dua hal penting dalam aspek manajamen zakat, yakni, efektifitas penarikan dan efektifitas alokasi/distribusi.
Usaha Mikro
Pelaku usaha dibagi atas pelaku usaha kecil, menengah dan besar. Usaha kecil (small firms) biasanya didefnisikan sebagai kegiatan usaha dengan jumlah tenaga kerja antara 10-50 orang, dan usaha sangat kecil (very small firms) atau kerapkali disebut usaha kecil mikro jumlah tenaga kerjanya antara 5-10 orang. Perusahaan dengan jumlah tenaga kerja kurang dari lima orang sering disebut dengan cottage shop dan pada umumnya dijalankan di rumah (household manufacturing) atau di bengkel-bengkel kecil (small workshop).
Oleh karena usaha mikro adalah bagian dari gerakan ekonomi rakyat dan zakat adalah instrumen strategis dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, menjadi penting alokasi dan distribusi dana zakat diarahkan pada penguatan usaha mikro. Hanya persoalannya, penguatan usaha mikro membutuhkan dua aspek, yakni aspek finansial dan pendampingan. Dua aspek ini membutuhkan mekanisme kelembagaan.
Merujuk John R. Commons (dalam Rachbini, 2005) menguraikan kelembagaan merupakan collective action in restraint, liberation, and expansion of individual action. Ini menandakan, kelembagaan adalah aturan main yang dimiliki individu-individu untuk berperan dalam pranata kehidupan, tetapi juga berarti perilaku dari pranata tersebut. Artinya, dalam rangka penguatan usaha mikro, peran kelembagaan keuangan seperti BMT (BTM) dan lembaga keuangan mikro lainnya, sangat penting.
Dana zakat yang terakumulasi untuk kepentingan usaha produktif di kelembagaan BMT harus betul-betul mampu membangkitkan semangat entrepreneur bagi usaha mikro sebagai nasabah BMT. Karena itu, BMT harus melakukan studi kelayakan terhadap mustahiq sebelum modal diserahkan kepadanya, seperti penelitian tentang keadaan calon penerima modal, integritas moralnya, bidang yang patut diusahakan, dan berbagai aspek pendukung usaha produktif,serta mampumengembalikan modal tersebut untuk digunakan oleh saudara sesamanya yang lain. Diharapkan para mustahiq, dapat berubah menjadi muzakki.
Oleh: Mukhaer Pakkanna
Peneliti CIDES dan Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
Sumber: lazismu.org
endapatan Domestik Bruto (PDB) atau yang lebih dikenal dengan istilah Inggrisnya, Gross Domestic Product, merupakan suatu indeks dan rumusan kuantitatif yang umum digunakan untuk mengukur pendapatan suatu negara. GDP sering disebut sebagai ukuran tunggal yang paling baik dari suatu kesejahteraan masyarakat. Padahal GDP tidak memasukkan nilai tambah dari semua kegiatan yang terjadi di luar pasar. Rumus GDP yang paling sering dipakai (pendekatan pengeluaran) hanya memasukkan nilai Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah serta Net Export. Selain itu, GDP juga tidak memasukkan kualitas polusi dan distribusi pendapatan. Sehingga tidaklah mengherankan jika meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia, dinyatakan terus meningkat sebesar 6% secara konstan, namun permasalahan kemiskinan, pengangguran serta kualitas hidup tidaklah berkurang secara signifikan atau bahkan tidak berkurang sama sekali.
Kita juga dapat melihat bagaimana Amerika, peringkatpertama GDP di dunia, m
- See more at: http://fossei.org/2013/01/maqasid-indeks-sebuah-revitalisasi-pengukuran-kesejahteraan/#sthash.rvEcuRp1.dpufendapatan Domestik Bruto (PDB) atau yang lebih dikenal dengan istilah Inggrisnya, Gross Domestic Product, merupakan suatu indeks dan rumusan kuantitatif yang umum digunakan untuk mengukur pendapatan suatu negara. GDP sering disebut sebagai ukuran tunggal yang paling baik dari suatu kesejahteraan masyarakat. Padahal GDP tidak memasukkan nilai tambah dari semua kegiatan yang terjadi di luar pasar. Rumus GDP yang paling sering dipakai (pendekatan pengeluaran) hanya memasukkan nilai Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah serta Net Export. Selain itu, GDP juga tidak memasukkan kualitas polusi dan distribusi pendapatan. Sehingga tidaklah mengherankan jika meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia, dinyatakan terus meningkat sebesar 6% secara konstan, namun permasalahan kemiskinan, pengangguran serta kualitas hidup tidaklah berkurang secara signifikan atau bahkan tidak berkurang sama sekali.
Kita juga dapat melihat bagaimana Amerika, peringkatpertama GDP di dunia, m
- See more at: http://fossei.org/2013/01/maqasid-indeks-sebuah-revitalisasi-pengukuran-kesejahteraan/#sthash.rvEcuRp1.dpufOleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.p0RBxUWy.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpu
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpufgjvjh
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf
Oleh: Aries Musnandar (Dosen luar biasa FEB Universitas Brawijaya)
Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- See more at: http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.oKv5QgMP.dpuf
No comments:
Post a Comment